Jakarta – Suara Ekonomi.
Tanggal 10 November merupakan peringatan Hari Pahlawan Nasional. Hari Pahlawan (Heroes Day) adalah rekaman sejarah penting yang terjadi di Surabaya dalam pertempuran melawan kolonialisme. Tentunya hal ini memiliki arti penting bagi bangsa kita. Terutama bagi mereka yang mengatasnamakan dirinya kaum intelektual muda.
Pertempuran 10 November 1945 merupakan peristiwa pertumpahan darah di Surabaya dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasukan tanah air melakukan perang pertama kalinya melawan penjajah setelah peristiwa proklamasi .
Bung Tomo merupakan pemimpin rakyat di kota pahlawan waktu itu yang bertempur menghadapi pasukan Inggris. Mereka gencar melakukan serangan melalui udara maupun laut. Suasana kian mencekam dengan beribu-ribu korban berjatuhan disana. Seakan memaksa kita menyebutnya lautan darah manusia.
Sejarah inilah yang melatarbelakangi ditetapkannya 10 November sebagai Hari Pahlawan. Setiap tahun bangsa kita selalu memperingati Hari Pahlawan. Tapi apakah makna sebenarnya peringatan Hari Pahlawan itu? Tentunya masing-masing insan memiliki sudut pandang yang berbeda untuk menjawabnya.
Sebagai kaum intelektual muda, kita seharusnya mengenang dan menghormati jasa para pahlawan. Demi memperjuangkan kebebasan bangsa, mereka rela kehilangan nyawanya dalam peperangan. Namun, mutu perayaan Hari Pahlawan setiap tahun kian menurun. Seakan peringatan Hari Pahlawan hanya mementingkan unsur seremoni belaka, tanpa menghayati pesan para pejuang. Jika seperti itu, bagaimana kita dapat memaknai perjuangan demi kemajuan bangsa kita?
Sejarah bangsa ini telah mendokumentasikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah “hadiah” negara lain. Ini kita dapatkan berkat para pejuang bangsa dan founding fathers se-Nusantara.
Bung Karno pernah berkata, “Merdeka hanyalah suatu jembatan, walaupun jembatan tersebut terbuat dari emas, diseberang jembatan itu jalan pecah dua, satu ke dunia sama rata sama rasa dan satu ke dunia sama ratap sama tangis,”.
Menarik melihat kutipan tersebut. Seperti menitipkan pesan kepada para generasi penerus bangsa perihal beratnya perjuangan negara kita untuk ke depannya. Sungguh ironi melihat pemuda-pemudi sekarang yang notabenenya motor perubahan negeri ini. Mereka terjebak oleh budaya pop culture. Dimana foya-foya dan pesta pora menjadi kebutuhan pokok.
Kini kaum intelektual muda butuh tamparan keras dari warisan patriotisme dan nasionalisme para pahlawan. Mahasiswa sibuk dengan kepentingan akademiknya. Sebagai akibat dari persaingan kerja yang semakin sulit. Mereka lupa akan perannya sebagai agent of change bagi masyarakat.
Apakah ini yang akan diwariskan ke anak cucu kita? Tentunya tanya itu hanya bisa terjawab dari relung hati terdalam wahai kalian para pemuda. Mungkin dari alam baka, pejuang harkat dan martabat negeri dahulu telah meringis dan berteriak melihat kondisi ini. Layaknya ungkapan Tan Malaka, “Dari dalam kubur suaraku akan jauh lebih keras daripada di atas bumi,”.
Para pemegang otoritas kian terjebak dalam praktik pelanggaran hukum yang dapat merugikan rakyat. Seharusnya hal ini dapat menyadarkan dan membuka mata semua mahasiswa. Bahwa inilah saatnya kaum intelektual muda bergerak menuju perbaikan bangsa. Karena sekumpulan koruptor itu, sudah sangat jelas tidak memiliki attitude yang baik dalam membangun negara.
Generasi muda seharusnya memiliki pandangan kebangsaan yang luas dalam menyikapi Hari Pahlawan. Sebagai bibit unggul yang terbebas dari masalah pekerjaan dan keluarga. Selayaknya mengambil intisari peringatan tahunan 10 November ini.
Sudah saatnya kaum intelektual bahu-membahu merebut tongkat estafet yang dibawa para pejuang yang syuhada. Jadikan momentum Hari Pahlawan ini sebagai titik balik lurus kedepannya demi perbaikan negeri kita.