Jakarta – Suara Ekonomi.
Pendidikan merupakan proses pendewasaan manusia melalui sebuah pengajaran dan pelatihan. Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha yang secara nyata dilakukan dalam proses belajar mengajar untuk menciptakan peserta didik yang berkulitas, berkarakter, dan memiliki keterampilan aktif yang diperlukan, baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat.
Namun apa jadinya jika kekerasan hadir di dalam dunia pendidikan? Kekerasan dalam dunia pendidikan muncul karena adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik ataupun psikis. Jadi, ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan.
Menurut para ahli, kekerasan yang dilakukan dalam dunia pendidikan disebut corporal punishment, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama pendisiplinan peserta didiknya dengan menggunakan hukuman fisik.
Meskipun sebenarnya hukuman atau kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan. Namun tidak bisa ditampik, lembaga pendidikan di Indonesia ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan, tidak tanggung-tanggung hingga berujung kepada kematian.
Seperti yang terjadi sebelumnya, dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Dengan adanya tindak kekerasan dan penganiayaan yang menyebabkan korban meninggal dunia di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) (10/1/17).
Mahasiswa tingkat pertama ini bernama Alm. Amirulloh Adityas Putra yang tewas setelah dianiaya oleh empat orang seniornya di dalam asrama. Kejadian seperti ini bukanlah kali pertama, tetapi sudah terjadi pada tahun 2012 dan 2013 yang secara berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu dengan kasus yang sama.
Namun yang sangat mencengangkan adalah ada yang menganggap bahwa kejadian seperti itu biasa terjadi di lembaga pendidikan tersebut, mengapa demikian? Apakah menghilangkan nyawa seseorang dalam rangka pendidikan itu biasa terjadi? Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kejadian yang melahirkan kematian tersebut? Apakah ada sanksi tegas yang dapat membuat para pelaku pendidikan ini jera? Dimana pemerintah yang telah melihat kejadian ini?
Pertanyaan diatas tersebut selalu muncul dibenak manusia yang turut prihatin. Terutama keluarga korban yang ditinggalkan, betapa terpukul hati para orangtua yang mendambakan dan berharap anaknya sukses menggapai cita-cita. Namun telah pergi meninggal ditangan para seniornya secara tidak manusiawi dengan modus pendisiplinan.
Pendidikan yang seharusnya menjadi wadah untuk menimba ilmu apa sudah bertransformasi menjadi tempat mengadu peruntungan antara hidup dan mati. Tindak kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan.
Lembaga pendidikan sepatutnya sebagai tempat bagi peserta didik untuk berkembang. Namun, disaat kekerasan terjadi dilembaga pendidikan itulah hal yang mematikan untuk  perkembangan psikologi peserta didiknya.
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia akhir-akhir ini, bukanlah sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Semua itu telah tertanam kuat sejak dulu sebelum kemudian akhirnya meledak.
Pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, maka pendidik harus menunjukkan sifat pemaaf kepada peserta didik supaya terciptanya kehidupan yang harmonis antara pendidik dengan peserta didik dalam damai dan keadilan.
Reporter : Franz George & Desi Rahmawati.
Editor : Erika Sukma.