Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan menambah jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif menjadi 15. Ia menyebut usulan ini sebagai bentuk penyesuaian dengan kebutuhan zaman dan kondisi saat ini.
Namun, usulan ini mendapat kritik dari berbagai pihak. Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Christina Clarissa Intania, menilai revisi UU TNI bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang bertujuan memisahkan peran militer dari ranah sipil.
“Jika revisi ini disetujui, maka ini menjadi langkah mundur bagi demokrasi. TNI perlahan mengembalikan posisinya ke dalam pemerintahan, tidak lagi secara diam-diam, tetapi dengan legalitas yang diperkuat melalui Undang-Undang,” ujar Christina, dikutip dari liputan6.com.
Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga purnawirawan TNI, konsisten menekankan pentingnya supremasi sipil dan profesionalisme tentara.
Potensi Kudeta Konstitusional
Dilansir dari liputan6.com, Christina menilai bahwa revisi ini bukan sekadar perubahan hukum yang bersifat administratif, melainkan bentuk kudeta konstitusional, sebagaimana dijelaskan oleh David Landau dalam Abusive Constitutionalism (2013). Ia menjelaskan bahwa perubahan hukum ini justru dapat digunakan sebagai alat untuk membongkar supremasi sipil dan meneguhkan dominasi militer dalam pemerintahan sipil.

RUU ini tidak hanya menghapus batas antara sipil dan militer, tetapi juga membuka jalan bagi militer untuk merebut kembali kekuasaan yang telah mereka hilangkan sejak Reformasi 1998. Dengan demikian, TNI dapat kembali beroperasi dalam sistem pemerintahan tanpa perlu mengundurkan diri dari dinas militer.
Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan berbagai lembaga lainnya akan diisi oleh prajurit aktif yang tetap terikat pada garis komando militer. Hal ini dinilai sebagai bentuk penyusupan struktural yang berpotensi mengikis independensi hukum dan birokrasi sipil.
Kejanggalan dalam Proses Legislasi
Dilansir dari metrotvnews.com, Fajri, seorang pengamat hukum, menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses legislasi revisi UU TNI. Ia mengatakan bahwa revisi UU TNI tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang disahkan pada 19 November 2025. Bahkan, revisi ini tidak tercantum dalam 18 RUU prioritas pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

“Hal itu membuktikan bahwa dokumen teknokratik milik pemerintah sendiri tidak menganggap revisi terhadap UU TNI sebagai kebutuhan prioritas,” ungkapnya, dikutip dari metrotvnews.com.
Selain itu, pengambilan keputusan terkait revisi UU TNI dalam Rapat Paripurna Pembukaan Masa Sidang DPR RI ke-13 pada 18 Februari 2025 juga dinilai janggal. Fajri menjelaskan bahwa revisi ini tidak masuk dalam agenda rapat paripurna, tetapi secara tiba-tiba Ketua Sidang saat itu, Adies Kadir (Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar), meminta persetujuan anggota DPR untuk memasukkan revisi UU TNI ke dalam Prolegnas 2025 sebelum keseluruhan agenda rapat dilaksanakan.
Dalam Pasal 290 ayat (2) Tata Tertib DPR RI, perubahan agenda rapat hanya dapat dilakukan dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus), dan pengajuan harus disampaikan paling lambat dua hari sebelum Bamus dilaksanakan. Namun, ketentuan ini tidak diikuti dalam kasus ini, terbukti dengan tidak adanya agenda tersebut yang dibacakan dalam rapat paripurna.
Selain itu, dasar pertimbangan untuk memasukkan revisi UU TNI dalam Prolegnas 2025 berasal dari Surat Presiden Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025, padahal pertimbangan utama seharusnya berasal dari Badan Legislasi, bukan desakan dari Presiden.
Minimnya Transparansi
Fajri juga menyoroti minimnya transparansi dalam pembahasan revisi UU TNI. DPR tidak mempublikasikan draf revisi UU TNI kepada publik melalui jalur resmi, termasuk website resmi DPR RI. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara penuh karena kurangnya akses terhadap informasi yang sedang dibahas.
Lebih jauh, pembahasan RUU revisi UU TNI yang dilakukan di luar Gedung DPR RI membuatnya semakin tertutup dan membatasi akses publik untuk memantau perkembangannya.
“Praktik ugal-ugalan dalam pembahasan revisi UU TNI mencerminkan tren buruk dalam proses legislasi selama 10 tahun terakhir. Ini menjadi alarm kuat bagi masyarakat sipil dan akademisi untuk mengantisipasi praktik serupa di masa mendatang,” ujar Fajri, dikutip dari metrotvnews.com
Penulis: Tim Redaksi LPM Suara Ekonomi