Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kian memanas. Presiden AS Donald Trump mengambil langkah tegas dengan menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal China hingga 245 persen. Kebijakan ini merupakan respons terhadap tindakan China yang membalas dengan menaikkan tarif barang-barang AS sebesar 125 persen.
“China kini menghadapi tarif hingga 245 persen atas impor masuk ke Amerika Serikat sebagai akibat dari tindakan pembalasan,” bunyi pernyataan Gedung Putih, seperti dikutip dari cnbcindonesia.com.
Sebelumnya, ketika Trump pertama kali mengumumkan skema pajak impornya, China dikenai tarif resiprokal sebesar 34 persen. China membalas dengan mengenakan tarif sebesar 34 persen terhadap barang-barang Amerika.
AS menanggapi dengan menaikkan tarif mereka hingga total 104 persen, sehingga China menaikkan tarif mereka menjadi 84 persen. AS merespons lagi, dan sebagaimana keadaannya saat ini, tarif AS terhadap barang-barang China adalah sebesar 125 persen.
“Jika Amerika Serikat terus memberlakukan tambahan tarif terhadap barang-barang ekspor dari China ke AS, China akan mengabaikannya,” tulis pernyataan Kementerian Keuangan China di Beijing, dikutip dari kumparan.com.

Alasan AS dan China Menaikkan Tarif Impor
Perang dagang antara AS dan China dipicu oleh kekhawatiran AS mengenai defisit perdagangan yang besar dengan China. Selama bertahun-tahun, AS mengimpor jauh lebih banyak barang dari China dibandingkan yang diekspor ke negara tersebut.
Presiden Donald Trump memandang ketidakseimbangan ini sebagai bentuk ketidakadilan dan berusaha untuk mengurangi defisit dengan cara mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang China.
“Selama beberapa dekade, negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijarah oleh negara-negara dekat dan jauh, baik kawan maupun lawan,” tegasnya, dikutip dari cnnindonesia.com.
Sebagai respons, China pun menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal AS. Tindakan ini lebih merupakan upaya pembalasan (retaliation), sekaligus menjaga posisi tawar China dalam negosiasi dengan AS. Dengan demikian, kedua negara saling mengenakan tarif yang semakin tinggi, memperburuk ketegangan yang sudah ada.
Siapa yang Rugi dalam Perang Dagang Ini?
Meskipun perang dagang ini lebih banyak dipicu oleh kepentingan ekonomi kedua negara, dampaknya ternyata merembet ke berbagai sektor dan wilayah.
Di Amerika Serikat, konsumen mulai merasakan dampak dari perang dagang ini, dengan harga barang-barang impor dari China yang semakin mahal. Produk elektronik, pakaian, hingga mainan anak yang biasanya diimpor dari China kini menjadi lebih mahal karena tarif yang dikenakan.
Selain itu, perusahaan-perusahaan AS juga menanggung biaya tambahan akibat kenaikan tarif impor bahan baku dan barang jadi dari China. Beberapa perusahaan terpaksa menaikkan harga jual atau memangkas biaya dengan mengurangi karyawan.
Tarif tinggi yang dikenakan China terhadap produk-produk pertanian AS menyebabkan pasar ekspor mereka menyusut. Begitu juga dengan produsen di China yang kehilangan sebagian besar pelanggan dari AS.
Sektor yang Paling Terkena Dampak
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa sektor makanan dan pakaian menjadi sektor utama yang paling terdampak dari kebijakan tarif baru Amerika Serikat terhadap Indonesia.
“Nah, oleh karena itu penerapan tarif ini tentunya bagi Indonesia ada beberapa sektor utama yang terkena yaitu food and apparel karena itu juga menjadi andalan ekspor Indonesia,” ujar Airlangga, dikutip dari sindonews.com.
Respons Negara Lain Terhadap Perang Dagang

Perang dagang AS-China telah memengaruhi banyak negara di dunia. Negara-negara berkembang seperti Vietnam, Indonesia, dan Meksiko melihat peluang untuk menjadi alternatif pusat produksi bagi perusahaan yang ingin menghindari tarif tinggi.
Uni Eropa berusaha menjaga keseimbangan dengan tetap menjalin hubungan perdagangan dengan kedua negara besar tersebut, sembari mendorong kerjasama multilateral dan memperkuat perjanjian perdagangan dengan negara lain.
Jepang dan Korea Selatan, yang juga sangat bergantung pada perdagangan dengan China dan AS, mulai mengurangi ketergantungan pada kedua negara tersebut. Mereka berupaya untuk mendiversifikasi pasar ke wilayah lain, seperti Asia Selatan dan Eropa, untuk menjaga kestabilan ekonomi mereka.
Australia, sebagai negara yang memiliki hubungan perdagangan kuat dengan China, mencoba fokus pada diplomasi dan memperluas hubungan perdagangan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Trans-Pasifik.
Sementara itu, negara-negara di Afrika dan Timur Tengah melihat peluang sebagai pemasok bahan mentah, meskipun mereka harus menghadapi ketidakpastian harga komoditas global yang dipengaruhi perang dagang ini.
Reporter: Syifa Yusnadila
Editor: Novita Rahmawati