google image

Kabayan

Pekarangan stasiun merupa hamparan sawah

dan tiga selokan hitam ialah irigasi di musim kemarau

 

Ruko-ruko kusut pun berderet

bak reranting albasia yang resah

sedang menghitung hari menuju kejatuhannya

 

Ribuan manuk berlalu

tapi dengan mata benci untuk saling menatap. Tanpa ricau

sebagaimana tangkai padi kering

yang enggan peduli pada keguguran rumpunnya

 

Dia masih belum kehilangan nafas

sedikit terengah-engah

sedap irama serulingnya melayang memecah siang

namun tak cukup menggoda

bagi kawanan manuk yang terus berlalu

 

“Keapatisan adalah rohnya waktu,

dan kita mendewakannya. Sayangnya begitu”

 

Ia memang tak pandai beradu siasat

apalagi sampai menggebu

melawan lekas decit rem yang kedengarannya

lebih mirip hentakkan kerbau di rekat gemburan

 

Dendang serulingnya bukanlah nada tenor

atau pekikkan dua oktaf

melainkan bisik-bisik jangkrik

Jelas ia tenggelam

 

Tapi meski serulingnya tak dapat merayu

kerling kawanan manuk

ia terus menderai dan melayang
menabur senandung merdu di tengah nyanyian duka

nyanyian persembahan kepada jiwa-jiwa yang terbius

sebab ia tak termasuk di antara mereka

 

Oleh : El Mochtar

Stasiun Depok Baru, 30 September 2016