Jakarta – Suara Ekonomi
S
ubstansi kemerdekaan era Soekarno adalah “kebebasan dari penjajahan asing dan dengan segala macam cara menghilangkan pengaruh budaya asing dan mencoba untuk berdiri diatas kaki sendiri”. Pengertian seperti ini Soekarno terjebak dalam rangkulan paham kiri (komunis) yang mengartikan budaya asing itu adalah budaya pengaruh kapitalisme Amerika. Tanpa melihat bahwa komunis itu sendiri adalah budaya asing. Akibatnya, kesulitan ekonomi merasuki bangsa dan tragedi ‘goro-goro’ tahun 1965 terjadi yang berujung pergantian pemerintahan dengan era Soeharto.
Sedangkan masa rezim Soeharto, kemerdekaan diartikan “pertumbuhan ekonomi” dengan segala harga yang harus dibayar. Pertumbuhan ekonomi diharapkan akan terjadi kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Cita-cita ini adalah sangat mulia apabila pertumbuhan ekonomi disertai dengan pemerataan kesempatan maupun kekayaan negara bagi kepentingan seluruh rakyat tanpa pilih-pilih. Sayangnya, yang terjadi tidak demikian.
Dinamika atas permasalahan kompleks di negara ini cenderung salah jalannya mengisi kemerdekaan bangsa. Berbagai persoalan seolah dirangkum dalam satu identitas kausalitas. Publik tersuapi oleh perangai solusi yang tak kunjung pasti. Kekuasaan dan penegakan hukum cenderung diperalat kekuatan modal-materi (capital power). Ketika para pejabat masuk perangkap, suatu realita akan krisis luar biasa perihal aspek kemanusiaan dan keadilan. Nilai-nilai kehidupan dan pengelolaaan bernegara mengalami erosi moral sosial. Sebab, telah secara intens terasuki kepentingan pragmatis duniawi. Mereka lupa bahwa negara ini sebenarnya dibangun di atas sendi-sendi dan pondasi moralitas.
Maka, tak heran timbul spekulasi melalui nada pesimistis. Bahwa, praktik korupsi di negeri ini tak akan selesai diberantas kerana sasarannya adalah “isu korupsi” bukan “koruptor”. Para bandit berdasi itu memperoleh perlindungan secara struktural dibentengi argumen legalistik dalam indikasi yang rapi dan menggurita. Maka, bisa dibayangkan kalau landasan suatu negara sudah mulai rapuh akibat ulah sebagian oknum penyelenggaraannya. Dapat berarti dan menimbulkan negara sudah kehilangan ruhnya.
Makna kemerdekaan adalah awal terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual dalam sistem, baik di wilayah Yudikatif dan eksekutif maupun rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Kemerdekaan tidaklah hanya bersifat individual tetapi merupakan cerminan kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai komponen. Bila kita hanya memikirkan diri sendiri, niscaya bagi mereka yang mapan dan memiliki kekuasaan dan akses luas. Sungguh hidupnya sangat amat merdeka. Tetapi, bagi mereka yang nasibnya tergantung pada orang lain. Perasaan terjajah itu justru semakin dalam, apabila orang-orang yang memiliki pengaruh dalam hajat hidup orang banyak tidak mampu, pengecut. Bahkan tidak paham bagaimana mengelola sumber-sumber kehidupan manusia secara adil.
Aspek kemerdekaan dalam kerangka demokrasi harus bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara. Namun, semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Utamanya adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus bisa dilaksanakan dalam semangat persatuan.
Selain itu, kemerdekaan harus dimaknai dengan sebuah kerja keras. Bukan hanya euphoria dalam beberapa waktu saja atas dilahirkannya sebuah prestasi, atau koreksi berlebih atas timpangnya sebuah sistem. Tetapi, keinginan luhur untuk membangun manusia Indonesia berwatak dan berkepribadian Indonesia adalah konsekuensi kemerdekaan yang harus dipikul oleh semua orang.
SELAMAT HARI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA !!
Oleh: Muhammad Irfan Fauzi