Hubungan antara Uni Eropa (UE) dan China kembali memanas. Konflik yang terjadi diketahui penyebabnya adalah karena Benua Biru menuduh China mengekspor kendaraan listrik (EV) yang dibuatnya dengan subsidi pemerintah ke Eropa yang mengancam pembuat kendaraan lokal.
Pada Rabu (12/6/2024), UE (Uni Eropa) mengatakan resmi mengenakan tarif tambahan sebesar 38,1% pada produsen kendaraan listrik baterai (BEV) yang tidak mau bekerja sama dalam penyelidikan perdagangan. Dengan adanya pajak 10% yang diterapkan saat ini, EV asal China di Eropa pun terkena pajak hingga 48%
“UE berkepentingan untuk mengenakan bea penyeimbang sementara pada BEV impor dari China,” bunyi pernyataan yang dikutip oleh CNN International,dikutip Jumat (14/6/2024).
“Masuknya impor China yang disubsidi dengan harga yang sangat rendah menghadirkan ancaman kerugian yang jelas dapat tercapai dan akan segera terjadi pada industri UE,” tambahnya.
Antara Januari 2020 dan September 2023, perusahaan di China meningkatkan pangsa pasar mereka di UE dari 4% menjadi 25%. Sementara pangsa pasar pesaing lokalnya turun dari 69% menjadi hampir 60%. Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyebutkan bahwa wilayah pembuat mobil UE telah terganggu dengan adanya mobil listrik asal China yang dijual dengan harga murah. Ibu Kota Belgia (Brussels) menuding bahwa ada subsidi yang diberikan kepada para pembuat itu sehingga harga jualnya rendah.
Setelahnya, UE memutuskan untuk melakukan penyelidikan atas dugaan ini. Mereka mengambil tiga sampel produsen otomotif raksasa China sebagai bahan investasi, yakni BYD (Build Your Dreams), Geely Automobile, dan SAIC (Shanghai Automotive Industry Corporation) Motors. UE pun kemudian mengirim kuesioner kepada ketiga perusahaan tersebut, yang terdiri dari 60 halaman dan lebih dari 18.000 kata. Mereka menuntut akses terhadap informasi keuangan dan rincian tingkat forensik yang diberikan China.
Namun setelah diberikan, hanya SAIC yang memutuskan untuk tidak mematuhi pengisian kuesioner itu. Hal ini mengakibatkan pembuat kendaraan itu terkena tarif hingga 48%. Sementara itu, produsen BYD, dikenakan tarif sebesar 17,4%. Geely juga terkena tarif bea masuk sebesar 20%. Dengan adanya hal ini, Beijing mulai melakukan pembelaan dan perlawanan.
Pejabat senior UE menyebut China mencoba menghentikan penyelidikan tersebut dengan serangkaian ancaman. Menurut peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ino Adinova, memang dampaknya ke RI tidak secara langsung. Adanya tarif yang meningkat akan mengurangi tingkat kompetitif dan menurunkan permintaan dari produk mobil listrik tersebut.
“Sementara Indonesia, yang mengekspor banyak barang raw materials ke China, termasuk misalnya iron, akan terkena penurunan demand terhadap mobil listrik China tersebut,” ujarnya kepada CNBC Indonesia.
“Sehingga, demand barang Indonesia dari China akan otomatis juga akan berkurang,” tambahnya.
Ia pun menjelaskan bahwa untuk menilai dampaknya terhadap Indonesia, perlu dilihat dari produk apa yang akan menjadi retaliasi.
“Apabila China melakukan retaliasi terhadap produk Uni Eropa, perlu dilihat lebih jauh produk apa yang akan menjadi retaliasi untuk menilai seberapa besar dampaknya terhadap Indonesia,” tegasnya.
Menurut peneliti CSIS lain Deni Friawan, kebijakan ini sebenarnya efek dari perang dagang. Sebelumnya Amerika Serikat juga sudah menaikkan tarif mobil listrik China dari 25% ke 100%. Mengenai dampaknya ke RI mungkin belum banyak. Namun ia meminta kewaspadaan.
“Ada banyak investasi China di Indonesia, sektor hilir hingga edit value, kita mungkin jangan terlalu tergantung ke China, tensi geopolitik global ke depan menjadi salah satunya,” ujarnya.
Reporter : Bokiala Maulidina Sella
Editor : Amanda Putri