Jakarta – Suara Ekonomi
Beberapa rezim dalam pegiat jurnalisme, akademisi, dan publik mendikte bahwa jurnalis haruslah bersikap netral, tidak partisan, dan objektif. Sikap tersebut diperlukan agar pers dan jurnalis dapat memberi ruang yang setara bagi belah pihak (cover both side). Berangkat dari tafsir tersebut, tugas media atau wartawan ialah hanya sebagai pelapor peristiwa, dengan asumsi media merupakan saluran yang netral dan bebas kepentingan.
Dibalik opini publik yang terbelah secara diametral, suluh-kah jika wartawan hanya harus menampilkan realitas tanpa efek dramatis dan arah yang subtansial? Karena secara struktural, netralitas dan objektivitas dalam pers adalah ide yang mengabaikan kondisi sosial maupun ekonomi politik sebagaimana yang kita pahami saat ini.
Pangkalnya adalah masalah netralitas. Suatu kemubaziran sempurna jika netralitas dalam pers teruslah direproduksi sebagi upaya pemberangusan premis keadilan, oleh aktor-aktor dalam konsentrasi kepemilikan media atau kita bisa menyebutnya: oligarki media.

Menelik Netralitas Lewat Historikal Surat Kabar (Pers)
Sudut pandang tentang pers atau media yang harus netral, non-partisan, dan objektif jelas saja bertolak belakang dengan prinsip pers dalam konteks historis di Indonesia. Pada era ini kita bisa merujuk ke koran Medan Prijaji yang diterbitkan oleh Tirto Adhi Soerjo (TAS).
Dalam edisi perdana Medan Prijaji, TAS merumuskan delapan asas bahwa surat kabar (pers) haruslah: memberi informasi, menjadi suluh keadilan, memberikan bantuan hukum, menjadi tempat pengaduan untuk orang yang tersia-sia, membantu orang mencari pekerjaan, menggerakan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasikan diri, membangun dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha dan perdagangan.
Medan Prijaji menohok secara gamblang ke mana keberpihakan pers serta jurnalis harus diarahkan. Delapan asas tersebut tidak hanya menjadi sinyal pembentukan imajinasi pers untuk sebuah bangsa, tetapi juga sebagai prinsip fundamental yang menacapkan tonggak awal bagi jurnalisme politik di tanah air dan mengurat akar sampai pasca-kemerdekaan.
Kemudian, Soekarno menyebut pers sebagai alat revolusi yang bertugas untuk memobilisasi opini publik. Karna hal itu artinya wartawan bertugas untuk membangun kesadaran rakyat dalam melawan rezim-rezim kontra-revolusioner. Bahkan pada tahun 1960-an, pemerintah meminta semua surat kabar untuk berafiliasi secara resmi dengan parta politik, kelompok fungsional, maupun organisasi rakyat.
Dari sisi historikal, ide sebagai pilar demokrasi keempat yang netral, non-partisan, dan objektif sama-sekali tidak menapak dalam tradisi gerakan pers di Indonesia. Baik di era zaman bergerak yang penuh perang ideologi maupun era industri, pers senantiasa berada dalam posisi untuk menunjukan keberpihakan secara tegas dan jelas atas dasar kesadaran bangsa, afiliasi partai politik, represi negara, maupun tekanan pemiliknya.

Jurnalisme Semu: Pers yang Netral, Tidak Partisan, dan Objektif
Lewat rapat dalam meja redaksi, wartawan selalu sudah memiliki posisi, pertimbangan awal, maupun kepentingan sebelum ia turun ke lapangan. Disanalah bias berita ditemukan. Jelas sudah membuat media atau pers itu tidak berposisi netral sejak dalam dirinya sendiri.
Dalam kajian komunikasi, professor jurnalisme di Universitas Missouri, John C. Merril, berpandangan bahwa objektivitas jurnalisme adalah hal yang tidak mungkin atau dengan kata lain, mustahil. Dari mulai seleksi isu yang diberitakan, pemilihan narasumber, penentuan kata sampai strategi penulisan berita adalah sebuah tindakan ideologis yang didasari subjektivitas wartawan dan media.
Harus jurnalis akui—dalam era digitalisasi media—media arus utama saat ini telah banyak meluluh-lantakkan apa yang kerap disebut sebagai standar objektif jurnalisme seperti cover both side dan memisahkan fakta dengan opini. Koreksi lagi bahwa saat ini banyak media arus utama kerap menayangkan sebuah berita yang bersumber dari satu narasumber saja dalam menghasilkan apa yang disebut realitas psikologis. Dalam era ini, sebuah berita tidak bisa disimpulkan jika tidak melihat berita yang lain.
Jika menimbang fenomena arah pemberitaan di masa sekarang, pandangan yang dikemukakan oleh John C. Merril menjadi semakin rasional dan patut bagi jurnalis untuk mengindahkannya. Terlebih jika kita disaksikan oleh masifnya perkembanngan digitalisasi media. Netralitas dan Objektivitas jurnalisme serasa teori dan praktik yang tak mungkin dicapai dan semu: tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya).
Bagaimana Konsentrasi Kepemilikan Media Membuat Arah Berita
Pasca kepemerintahan Orde Baru runtuh, demokratisasi media yang dicita-citakan tak sepenuhnya lahir. Oligarki media semakin menguat, konsentrasi kepemilikan semakin memusat. Gejala ini dapat kita lihat lewat ciri-ciri pemberitaan pada media arus utama.
Ada buku menarik yang ditulis oleh Wisnu Prasetya Utomo dengan judul Suara Pers Suara Siapa (2016). Salah satu kiat yang baik untuk melihat fenomena konsentrasi kepemilikan dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta pada 2016 silam.
Metro TV dan Media Indoneisa yang dimiliki oleh Surya Paloh—pendukung pemerintah—mendukung penuh program reklamasi. Grup media tersebut memberi ruang khusus untuk Mentri Koordinator Kemaritiman. Luhut Pandjaitan diberi panggung untuk menjelaskan pentingnya program reklamasi.
Metro TV dan Media Indonesia sering kali mengeluarkan tajuk redaksional yang mendukung reklamasi. Salah satu bunyi redaksionalnya, “tidak ada satu pun dalih atau pembenaran untuk tidak menyegerakan kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta”. ketika pemerintah pusat menghentikan sementara proyek tersebut, mereka menulis “ketidak pastian akan merugikan investor” dan bahwa “reklamasi untuk semua”.
Sementara TV One yang dimiliki Aburizal Bakrie pada saat itu kritis terhadap reklamasi. Ketika Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur, TV One bersikap oposan terhadap pemerintah DKI Jakarta terkait reklamasi. Begitu Anies Baswedan—yang didukung TV One—terpilih sebagai gubernur, mereka mendukung sikap pemerintah daerah untuk menghentikan program reklamasi.
Dalam konteks tersebut kalau ada pemilik media melantamkan atau meneriakkan netralitas media, kita justru memaknainya dengan terbalik: alih-alih netral adalah diksi lain untuk berpihak kepada pemodal media tersebut. Kita juga patut meragui sistem politik yang membentuk sistem media; yang memungkinkan konsentrasi kepemilikan itu bisa menjadi praktik kotor yang mengakar di Indonesia.

Netralitas adalah Selogan yang Dibangun untuk Melemahkan Gerakan Jurnalisme
Keberpihakan dalam media banyak dipahami sebagai tindakan pelanggaran kode etik jurnalisme. Keberpihakan seolah-olah menjadi pantangan; pelarangan sosial yang kuat; tak patut untuk dipatahkan. Singkatnya, keberpihakan media adalah hal yang di-tabu-kan.
Keberpihakan dalam media—saya memaknainya: gerakan media yang suluh—tentu tidak berarti jika prinsip-prinsip dan etika jurnalisme diabaikan begitu saja. Keberpihakan atau gerakan media yang suluh berada dalam penafsiran independen dalam Kode Etik Jurnalistik: memberikan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termaksud pemilik perusahaan.
Bagi elitis, keberpihakan dipandang sebagai ide dan praktik untuk melakukan propaganda. Saat ini kebanyakan pers cenderung ter-dikte dengan watak ideologis yang demikian dangkal: haruslah bersikap netral, tak boleh partisan, dan objektif. Karena ide itulah kehadiran pers harus kehilangan fungsi sesungguhnya sebagai kontrol sosial, ekonomi, maupun politik.
Wisnu Prasetya Utomo, menyebut bahwa hanya dalam kondisi ketika ruang redaksi imun dari intervensi pemilik dan negara, kebenaran jurnalistik bisa didapat. Bukankah ini yang kita harapkan dari jurnalisme? Berani menentang kekuasaan yang sewenang-wenang sekaligus punya sikap yang bisa menjadi kompas moral bagi publik.
Pernyataan Wisnu Prasetya Utomo itu cukup menampar dan membangun kesadaran untuk pegiat jurnalisme di tanah air. Dengan begitu, jurnalis seharusnya mengepalkan prinsip-prinsip yang dapat melegitimasi pers agar memposisikan diri sebagai corong keadilan bagi masyarakat yang tertindas.
Penulis : Muhammad Reyhan Candela