Jakarta – Suara Ekonomi
Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak terlepas dari konteks Perpajakan. Titik pusat penerimaan terbesar negara dalam menunjang kesejahteraan perihal infrastruktur untuk keadilan bagi semua rakyatnya. Oleh karena itu, Reformasi Perpajakan merupakan hal penting yang masuk agenda pemerintah. Berbagai upaya yang dilakukan, salah satunya dengan menerbitkan peraturan “Omnibus Law” yang kini tengah menjadi polemik di tengah masyarakat khususnya para pelaku usaha dan wajib pajak.
Omnibus law yang sedang disusun ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan tiga hal sebagai sasaran yakni undang-undang perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM. Namun dalam hal ini, kita membahas dalam aspek perpajakan yang sangat signifikan mempengaruhi berbagai bidang termasuk sasaran utamanya.
Berdasarkan keterangan Menteri Keuangan, rancangan omnibus law perpajakan mencakup penurunan tarif Pajak Pengasilan (PPh) Badan dan tarif PPh atas dividen untuk menarik investasi dan repatriasi dana, relaksasi sanksi administrasi dan pengakuan pajak masukan untuk mendorong fairness dan kepatuhan sukarela, perubahan terbatas dari sistem worldwide income ke territorial untuk subjek pajak berdasarkan time test, pengaturan terhadap perdagangan dengan sistem elektronik khususnya pemungutan PPN oleh perusahaan yang tidak berdomisili di Indonesia, redesain kewenangan penentuan tarif Pajak Daerah, dan integrasi landasan hukum untuk fasilitas perpajakan.
Dalam laporan bersama bertajuk Tax and Certainty (2017), OECD dan IMF menggaris bawahi pentingnya kepastian kebijakan perpajakan sebagai kondisi untuk menarik minat investasi, lebih penting dibandingkan kepastian kebijakan makro ekonomi dan biaya tenaga kerja, dan berada di bawah korupsi dan kepastian politik. Menurut survei ini, faktor penting terkait perpajakan antara lain tarif pajak efektif, netralitas pengkreditan, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan implementasi tax treaty. Investor juga menyoroti sumber ketidak pastian, yaitu birokrasi dan administrasi yang berbelit-belit, sistem hukum yang tidak jelas, implementasi kebijakan dan regulasi yang tak konsisten, dan penyelesaian sengketa pajak yang tak efektif.
Selain itu, The Economist (2018) juga mempunyai temuan menarik di sektor ekonomi digital, bahwa kebijakan pajak jadi faktor penting ketiga bagi investor selain digital talent dan iklim investasi. Secara sederhana, nilai pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa ditinjau lewat tingkat konsumsi masyarakatnya, belanja pemerintah, nilai investasi, dan peran dalam perdagangan internasional.
Bagaimana pengaruhnya Omnibus Law ini terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia lewat UU Perpajakan?. Berikut enam poin penting perpajakan yang akan di atur dalam Omnibus Law Perpajakan diantaranya :
Pertama, tarif PPh Badan sampai Pajak Dividen. Pemerintah sepakat untuk menurunkan tarif PPh Badan maksimal hingga 20% dari sebelumnya 25%. Hal itu akan dilakukan secara bertahap mulai 2021-2023 mendatang. Pemerintah juga akan menurunkan tarif Pph Badan bagi perusahaan yang go public maksimal 17% dari sebelumnya 22%. Tak hanya itu, pemerintah juga membebaskan tarif PPh dividen dalam negeri, baik itu bagi wajib pajak orang pribadi maupun badan. Bahkan, tarif PPh pasal 26 atas bunga untuk PPh juga akan diturunkan dari yang saat ini sebesar 20%. Penurunan tarif PPh merupakan hal yang wajar, terutama jika tujuannya menjaga daya saing dan daya tarik dengan negara lain. Hanya saja risiko jangka pendek berupa tergerusnya penerimaan pajak musti diwaspadai. Tak ada bukti empirik yang kuat bahwa pasca penurunan tarif PPh Badan akan terjadi banjir investasi dan diikuti peningkatan penerimaan pajak.
Kedua dari sisi rezim perpajakan. Pemerintah akan mengatur sistem teritori untuk penghasilan yang diperoleh dari luar negeri. Bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan yang berasal dari luar negeri, tidak akan dikenakan pajak dividen. Omnibus law perpajakan juga akan mengubah status wajib seseorang, baik itu warga negara Indonesia, maupun negara asing tergantung dari berapa lama mereka tinggal di teritori Indonesia ataupun luar negeri. Konsekuensinya, terhadap seluruh harta dan penghasilan di luar Indonesia bukan merupakan objek pajak. Ini berarti pemberian pengampunan pajak yang lebih dahsyat ketimbang amnesti pajak kurun 2016-2017.
Ketiga tarif kredit pajak. Omnibus Law akan mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memperoleh barang ataupun jasa. Jika selama ini mereka tidak bisa pengkreditan, nantinya akan diatur mereka bisa mengkreditkan pajak masukan maksimal 80%.
Keempat sanksi administratif. Meringankan sanksi, apabila wajib pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan mengalami kurang bayar, maka akan dikenai sanksi 2% per bulan. Dalam jangka waktu 24 bulan, sanksi tersebut dianggap memberatkan wajib pajak karena denda yang harus dibayar bisa mencapai 48%. Namun dalam Omnibus Law, sanksi per bulan akan diturunkan pro rata berdasarkan suku bunga acuan di pasar. Hanya saja, pembenahan administrasi ini masih terasa hambar lantaran tidak sekaligus mencakup perbaikan tata kelola sengketa pajak yang selama ini kerap dikeluhkan, seperti tata kelola pemeriksaan pajak dan pemendekan jangka waktu penyelesaian keberatan dan banding.
Kelima tarif pajak perusahaan digital. Secara terperinci aturan main memajaki perusahaan digital yang tidak memiliki kantor cabang di Indonesia, namun meraup keuntungan berbisnis di Indonesia. Artinya, mereka jelas memiliki kewajiban pajak yang harus disetor ke pemerintah. Misalnya, seperti Google, hingga Netflix. Omnibus Law akan mengatur bagaimana perusahaan-perusahaan digital tersebut tetap bisa menyetor kewajiban perpajakannya, tanpa mengubah ketentuan yang ada. Salah satunya, dengan menyetor PPN. Meski begitu, tetap diperlukan kehati-hatian dan memastikan kesiapan Indonesia hingga tataran teknis-administrasi sehingga ekosistem yang sedang dibangun tetap terjaga.
Keenam pajak daerah. Rasionalisasi pajak daerah yang nantinya bertujuan untuk mengatur kembali kewenangan pemerintah pusat dalam menetapkan pajak daerah secara nasional. Ketiadaan rasionalitas penentuan tarif, pemungutan pajak yang tidak profesional, inkompetensi petugas, dan buruknya administrasi, masih menjadi kendala umum. Hal yang perlu diantisipasi adalah penolakan Daerah terhadap skenario ini yang dapat berujung pada kemandekan di tataran implementasi.
Reformasi Pajak (Tax reform) merupakan suatu langkah dalam pembenahan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Menjamin kualitas pada pelayanan dalam rangka kualitas kepatuhan oleh wajib pajak. Maka dari itu, Omnibus Law diharapkan dapat menjadi cerminan kemajuan penerimaan negara dan bukan suatu hal politis yang ternodai demi kepentingan golongan semata. Sebagai sebuah terobosan, tentu saja langkah ini patut diapresiasi karena kita dihadapkan pada situasi yang membutuhkan respons yang cepat. Namun, jika mencermati terbatasnya cakupan perubahan yang signifikan dalam rancangan Omnibus Law, publik dapat mengajukan beberapa praduga, analisis, dan catatan. Gagasan Omnibus Law lalu menjadi oase yang menyejukkan dan memberi harapan bagi terobosan yang efektif. Meski patut diapresiasi dan disambut baik, arah dan substansi Omnibus Law tetap harus dikawal supaya tidak menyimpan konsekuensi tersembunyi (unintended consequences) yang akan menjadi beban sejarah.
Penulis : Muhamad Irfan Fauzi