Feminisme bukanlah hal asing di telinga kita. Gerakan sosial, politik, dan ideologi ini membawa perjuangan kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, hingga pribadi. Gerakan ini diterbitkan sebagai akibat dari berakarnya patriarki yang membatasi hak-hak perempuan dalam hal kesetaraan.
Patriarki merupakan sistem yang umumnya tertanam dalam aspek sosial dan politik, dimana laki-laki ditempatkan pada posisi dominan atas perempuan. Adapun hal ini dikarenakan anggapan bahwa laki-laki lebih superior dan berhak untuk mengontrol perempuan, tubuh, serta sumber daya mereka. Namun, perlu dipahami bahwa tak semua laki-laki merupakan patriarkis dan semua perempuan adalah feminis. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat fenomena ini.
Gelombang pertama feminisme lebih berfokus pada kesenjangan politik yang terjadi, terutama dalam memperjuangkan hak pilih perempuan atau emansipasi di bidang politik. Aliran ini berkembang pada tahun 1792-1960. Karya seorang filsuf dan feminis abad ke 18, Mary Wollsstonecraft yang berjudul “A Vindication of the Rights of Women”, menjelaskan bahwa perempuan secara alamiah tidaklah lebih rendah dari laki-laki, namun terlihat seperti itu karena perempuan tidak memperoleh pendidikan yang memadai. Tak hanya itu, ia pun menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan dianggap setara dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam hal sosial-politiknya. Karya tersebut menginspirasi gerakan dan perjuangan perempuan hingga berlanjut pada abad ke-20.
Gelombang kedua feminisme lebih berfokus pada pembebasan perempuan atau lebih dikenal dengan istilah “Women Liberation”. Gerakan kolektif revolusioner ini muncul pada tahun 1960-1980, dimana kaum feminis bereaksi atas ketidakpuasannya terhadap berbagai praktik diskriminasi terutama dalam aspek hukum dan politik. Hal ini sudah tercapai pada saat gelombang pertama feminisme, namun tidak secara optimal.
Gelombang feminisme ketiga, dimulai dari tahun 1980 hingga sekarang. Gerakan feminisme ini terbilang sebagai respon terhadap apa yang dianggap menjadi kegagalan gelombang kedua. Terdapat tiga hal yang mendasari bangkitnya perubahan konsep-konsep feminisme. Tiga hal tersebut adalah sebagai berikut:
- Aktivis feminisme beranggapan bahwa konsep sebelumnya bersifat rasis dan etnosentris, hanya mewakili perempuan kulit putih dan berasal dari kelas menengah, sedangkan memarjinalkan perempuan dari etnis dan kelas yang berbeda.
- Feminis gelombang kedua dinilai belum optimal menaikkan isu “Sexual Difference”.
- Berkembangnya teori-teori postmodernisme, poststrukturalisme, dan postkolonialisme yang kemudian terharmonisasi dengan evolusi feminisme.
Di samping itu, aliran ini dikenal juga dengan postfeminisme dan sangat terkemuka, sehingga menjadi rujukan bagi para feminisme modern. Postfeminisme adalah gerakan yang menggelorakan penolakan terhadap feminisme gelombang kedua. Namun, di satu sisi, banyak tokoh feminis yang beranggapan bahwa feminisme aliran ini berbeda dengan postfeminisme. Keduanya dinilai memiliki definisi dan tujuan yang berbeda jika dikaitkan dengan evolusi feminisme. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari akitivis-aktivis yang berkontribusi dan sifat di antara keduanya. Feminisme gelombang ketiga ini memiliki sifat global, aktivis, dan akademis, sedangkan postfeminisme lebih menekankan individualistik, konsumtif, dan populer.
Lalu, bagaimana dengan gerakan feminisme di Indonesia?
Gerakan feminisme di Indonesia sudah ada sejak dahulu kala, saat jaman kolonial masih berpijak. Banyak tokoh dari berbagai sudut di Indonesia yang membela rakyat, namun perhatian mereka tidak hanya pada membela kaumnya saja, tetapi hingga pada perjuangan bersenjata melawan Belanda seperti yang dilakukan oleh Cut Meutia dari Aceh, Roro Gusik dari Jawa, Martha Tiahahu dari Maluku, dan dari Sulawesi Selatan adalah Emmy Saelan yang sangat berdedikasi dalam perlawanan terhadap Wolter Monginsidi.
Peringatan hari Kartini setiap tanggal 21 April di Indonesia menjadi tanda bahwa telah terjadi perjuangan akan kesetaraan yang disuarakan perempuan. Surat-surat yang dituliskannya menyatakan dambaan perempuan akan kebebasan yang pada saat itu terkukung oleh tradisi. Ia mengekspresikan penderitaan yang diterima perempuan Jawa akibat belenggu tradisi, dilarang menempuh pendidikan, dipingit, hingga harus menuruti perintah untuk menikah dengan lelaki yang bahkan tak mereka kenali. Maka dari itu, Kartini menekankan bahwa pendidikan mutlak diperlukan untuk mengangkat derajat perempuan Indonesia. Baginya, jika seorang perempuan itu berpendidikan, maka makin cakaplah dia mendidik anaknya dan lebih cakaplah dia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.
Di tengah maraknya perjuangan yang disuarakan oleh perempuan, masih banyak orang yang salah mengartikan niat dan tujuan para feminis. Beberapa anggapan yang seringkali salah adalah seperti:
- Feminisme tak menyukai laki-laki
Hal ini merupakan salah satu kekeliruan yang paling banyak ditemukan. Feminisme bukanlah gerakan yang merendahkan laki-laki untuk mengangkat derajat perempuan, melainkan sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam hal berpolitik, ekonomi, budaya, pribadi hingga sosial.
- Hanya perempuan yang dapat menjadi feminis
Dalam praktiknya, feminis mengatasi permasalahan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan, obejektifitas seksual, dan lain-lain. Hal ini menyiratkan bahwa diperlukan keterlibatan laki-laki untuk menanggulangi permasalahan-permasalahan tersebut dengan meningkatkan kesadaran para pria mengenai kepekaan gender, mengajarkan anak laki-laki untuk menghormati dan menghargai anak perempuan, menunjukkan keterlibatan ayah dalam berbagi beban pekerjaan rumah tangga dan membesarkan anak-anak.
- Feminisme tidak menikah
Feminis bukanlah gerakan yang menuntut kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Selama pernikahan tersebut merealisasikan nilai-nilai pibadi, hukum, dan sosial kepada kedua belah pihak maka tak ada hal yang perlu ditolak. Feminis tak menolak akan adanya pernikahan, tetapi feminis menolak ketika masyarakat menilai pernikahan sebagai alat untuk mengontrol perempuan.
Ketiga hal tersebut merupakan kekeliruan pandangan yang kerap ditemukan. Hal tersebut perlu diluruskan agar tak ada lagi individu yang menyalahartikan gerakan ini. Gerakan feminisme berlandaskan pada keyakinan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kesempatan yang sama. Feminisme bukan hanya mengenai perempuan, tetapi juga tentang melahirkan masyarakat yang adil dan setara bagi setiap orang dan menentang segala bentuk diskriminasi yang menindas perempuan seperti stereotip gender, kekerasan seksual, dan ketidaksetaraan dalam upah dan kesempatan kerja.
Sejarah yang panjang dan beragam menghasilkan berbagai aliran pemikiran dan aktivisme. Namun satu hal yang tak berubah adalah tujuan gerakan ini, yaitu mencapai kesetaraan gender dan menciptakan dunia yang lebih adil bagi semua orang.
Reporter : Tim Redaksi LPM Suara Ekonomi