Jakarta – Suara Ekonomi
Bicara soal Omnibus Law, masih ingat dengan pidato pertama presiden Joko Widodo? Saat Jokowi terpilih kembali menjadi presiden Republik Indonesia (RI), ia membacakan pidato pertamanya yang bertajuk penghambatan-penghambatan investasi. Polemik yang belum terselesaikan tersebut, kini malah dibahas kembali pada saat Indonesia sedang ‘sakit’.
RUU ini cukup membuat ramai dan menjadi ‘buah bibir’. Pandangan ini tampak sejalan dengan kepentingan pasar bebas bersandar pada liberalisme politikdan hukum yang kemudian dituangkan dalam Rancangan Undang – Undang (RUU) Omnibus Law. Ada tiga RUU di dalam Omnibus Law tentang kemudahan investasi ini, yaitu; RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), RUU Perpajakan dan RUU UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Nah, dari ke-3 RUU tersebut, yang akan diulas di sini adalah RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). RUU Cilaka yang diinisiasi oleh pemerintah ini sangat kontroversial dan bermasalah bagi kelas pekerja tentunya. Hal tersebut dikarenakan aturan-aturan yang akan diberikan. Yakni memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK), dihapusnya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan cuti hamil, uang pesangon yang diturunkan jumlahnya, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak, dan alih daya yang membuat mereka rentan diputus kontrak begitu saja. Sampai tidak leluasanya berserikat karena merasa harus terus menerus bekerja agar mencapai target yang ditentukan.
Hal lain yang membuat pekerja keberatan ialah karena diubahnya sistem pemberian upah menjadi per jam. Situasi itu yang membuat para pekerja dilihat layaknya ‘mesin produksi’. Lain halnya bagi para investor, Omnibus Law ini dinilai menguntungkan bagi mereka. Para investor tidak harus menanggung risiko dari apa yang ditakutkan oleh para pekerja. Banyak gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadapat kebijakan yang dinilai sangat oligarkis dan anti-demokratis, ups.
Terlewat dari polemik tersebut, melansir dari tulisan Kompas.com dengan berita berjudul “Bahas Omnibus Law Cipta Kerja di Tengah Pandemi, DPR dinilai Tak Peka terhadap Rakyat”. Inilah yang juga menjadi masalah besar karena melukai hati rakyat. Di saat bumi kita sedang mengalami pandemi virus bersekala besar, teman-teman Senayan (dibaca: DPR) malah ‘menyelam sambil minum air’. Mereka dianggap memanfaatkan pandemi virus untuk melancarkan pasal-pasal yang keliru terhadap rakyat terutama kelas pekerja.
Selain itu, hal yang dilakukan oleh teman-teman Senayan ini juga menciderai transparasi pembahasan RUU. Saat ini masyarakat menghentikan aksi unjuk rasa karena mengikuti program pemerintah yakni #dirumahaja. Tetapi, mereka malah sempat-sempatnya membahas RUU Cilaka dalam rapat paripurna. Membahas suatu aturan tanpa patisipan masyarakat ditengah penderitaan masyarakat. Hal yang dilakukan ini bagaikan‘berzina ditengah orang-orang beribadah bukan?’.
Melansir tulisan dari nasional.tempo.co yang berjudul “Buruh Ancam Demo Jika DPR Tetap Bahas Omnibus Law RUU Cipta Kerja”. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, “Saat ini tengah terjadi darurat pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai imbas wabah Corona. Jika tuntutan ini diabaikan, 50 ribu buruh dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan melakukan aksi di DPR pada bulan April ini.” Ia juga mengatakan aksi serupa akan digelar serentak di 20 provinsi lain. “DPR jangan mengkhianati rakyat dengan mengambil kesempatan membahas omnibus law ditengah pandemi Corona dan darurat PHK,” kata Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin, 6 April 2020.
Salahkah pernyataan sikap teman-teman Buruh terhadap teman teman Senayan? Kalau kita lihat, rakyat kita ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Bukan soal melanggar anjuran #dirumahaja dan Social Distancing. Mereka menilai DPR tak peka dan tak punya nurani terhadap rakyatnya sendiri. Masalah yang harusnya dilakukan oleh pemerintahan Indonesia itu, kalau kata seorang ekonom sekaligus politikus Faisal Basri, “Bukan mengotak-atik aturan tenaga kerja, tapi membenahi regulasi dan melakukan pengelolaan keuangan dengan cara yang lebih ketat. Jangan malah ceroboh dan buang-buang uang kayak ke kasus Jiwasraya dan Asabri!,” yang dikutip dari laman politik.rmol.id.
Sebagai anggota yang menjalankan fungsi legislative, seharusnya lebih memfokuskan dan memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19. Harapan elemen-elemen masyarakat ialah untuk tidak melanjutkan RUU yang dianggap bermasalah. Seperti, RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU KUHP, RUU Permasyarakatan, dan RUU Cipta Lapangan Kerja. Dengan demikian, teman-teman Senayan (DPR-RI) harus menghindari kepentingan politik jangka pendek dalam kondisi darurat seperti ini.
Reporter : Muhammad Reyhan Candela
Editor : Dinda Nadya