Jakarta – Suara Ekonomi.

Menjamurnya kepopuleran frasa “Om Telolet Om”. Dengan meneriakkan bus dipinggir jalan untuk membunyikan klakson khasnya. Mungkin dapat menjadi hiburan tersendiri bagi beberapa orang. Namun apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan?

Awal mula bunyi klakson “telolet” sudah terdengar dari satu dekade lalu. Tidak dimiliki oleh bus jenis tertentu, melainkan hasil modifikasi yang dilakukan oleh Perusahaan Otobus (PO). Pertama kali dibunyikan, klakson ini mendapat respon negatif di masyarakat. Karena tingkat suara yang terlampau tinggi.

Namun “telolet” mulai disukai dalam tiga sampai empat tahun terakhir. Karena mulai banyak Perusahaan Otobus yang menggunakannya. Beberapa daerah tertentu bahkan meminta membunyikan klakson apabila bus antar kota tersebut melintas.

Hingga kegemaran yang dilakukan Bis Mania Community (BMC). Dalam memotret bus-bus yang dimodifikasi sedemikian rupa milik beberapa PO. Dengan tampilan bus yang menawan, disertai aksesoris menarik, serta bunyi klakson yang memiliki beragam suara.

Menghinggapi anak-anak di sekitar jalan lintas Jawa, untuk merekam bus “telolet” saat sedang melintas. Dilakukan melalui permintaan kepada supir bus dengan sebutan “om” untuk membunyikan klaksonnya. Bukan hanya berbunyi “tin-tin” namun terdengar seperti bunyi “telolet”.

radarpekalongan.com / Anak-anak yang ikut meramaikan demam telolet.

Tidak sedikit pula orang dewasa yang ikut menyaksikan requesttelolet” untuk bus tersebut. Sambil memadati sisi kiri dan kanan menunggu bus lintas kota lewat. Bahkan sampai ada yang membawa tulisan super besar agar dibaca oleh para supir bus.

Namun melihat antusias masyarakat saat ini, perlu diperhatikan risiko keselamatan yang mungkin dapat terjadi kepada para pencari bus “telolet”. Terlebih dengan suara klakson yang cukup memekakkan telinga apabila sedang dibunyikan.

Hingga Budi Karya Sumadi, selaku Menteri Perhubungan angkat bicara saat melakukan konferensi pers. Mempersoalkan suara klakson yang menjadi hiburan bagi masyarakat tersendiri, serta kaitannya dengan aspek keselamatan di jalan raya.

Dengan itu, Kementrian Perhubungan akan mengkaji. Apakah penggunaan klakson bersuara “telolet” akan dilarang atau tetap diperbolehkan. Melalui pertimbangan terhadap dampak langsung bagi keselamatan berkendara.

Berdasarkan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan, dimana setiap klakson harus mengeluarkan bunyi dan dapat digunakan tanpa mengganggu konsentrasi pengemudi lainnya.

Serta aturan tentang suara klakson pada Pasal 69 dengan tegas menyatakan bahwa suara klakson paling rendah yaitu 83 desibel (dB) dan paling tinggi 118 dB. Melalui satuan ukuran suara yang dapat didengar oleh manusia.

Dengan catatan, yang apabila dalam mengemudikan kendaraan bermotor, beroda empat atau lebih di jalanan tidak memenuhi persyaratan teknis salah satunya klakson. Tertera dalam Pasal 285 ayat (2) UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dapat dijerat dengan kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp500.000.00.

Fenomena bus “telolet” sendiri bahkan sudah merajai tingkat kepopuleran di berbagai media sosial. Dimana masyarakat Indonesia sendiri dengan kreatifitas nya dengan membuat meme, guyonan, hingga bahan pelesetan yang menjadikan bus “telolet” semakin terkenal.

Demam bus “telolet” telah bergerilya dari satu akun ke akun lainnya, hingga menjangkit para pesohor terkenal dari luar negeri. Dengan ikut menyemarakkan hiburan “Om Telolet Om” di dunia maya.

Mengingat fenomena bus “telolet” yang sudah melebur di masyarakat dengan dampak positif terhadap hiburan yang didapatkan. Namun tetap memiliki sisi negatif yang tentu saja dapat mempertaruhkan keselamatan. Hingga tindak kriminalitas, atau perbuatan melawan hukum.