Kala itu, pukul tiga sore

Langit begitu terang

Pertanda matahari masih tertawa

Meski dewi bersedih , entah kenapa ?….

 

Bumi pun basah, sembab, dan lembab

Jarak dan hela nafasnya berlomba

Beradu untuk sampai, meski belum terbenam

Sangat mesra, kau menyambutku penuh rasa

 

“Selamat datang para pecandu keindahanku”

Begitu kata para selir anggun kerajaan

Prajurit  dengan persenjataan lengkap

Mengawasi melalui bayang – bayang nirwana

 

Sungguh aku tertegun oleh makna

Kau mengingatkanku pada kata dan sejarah

Peradaban Machu Pichu dan Trilogi Suku Maya

Keduanya  menuliskan kesukaran  rumus kelahiran

 

Tanpa terjemahan

Masih melayang terbang

Jiwaku hampa

Terbawa oleh lapisan udara yang tua renta

 

Kau membuatku terlena pun amnesia

Istanamu, rindu tanpa penabur

Wewangi  sesajian alam

Membawaku pada gemerlap adidaya Pulau Dewata

 

Tirta Gangga, Budaya kehidupanmu seolah tak pernah tengggelam

Kau masih nyaman berada di pelukan Sang Saka Merah Putih

Sang Garuda rela berkorban nyawa

Mungkinkah itu asumsi cinta menurut kitabnya… ?

 

Namun satu hal yang pasti

gumawyeana Dharma rikang Adri Karang maka kerahayuan ing Jagat Bangsul

Kata itu sudah membunuh nadiku

Bercumbu melalui pembuluh arteriku hingga terpusat.

 

 

Karangasem, 24 Okt 2016

M.I.F