Jakarta – Suara Ekonomi
Kementerian PUPR pada Juni 2019 menyebutkan bahwa, ada 81 juta milenial yang belum memiliki rumah. Sebabnya, mereka menjadi target pasar perbankan dalam penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Untuk mempermudahnya, Presiden Jokowi pada Rabu (20/5) mengeluarkan PP Nomor 25 Tahun 2020, tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Tapera merupakan Tabungan Perumahan Rakyat yang diperuntukkan bagi pegawai negeri ataupun swasta. Program ini dijalankan sebagai amanat UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, serta UU No.4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Terdapat program pendahulu yang serupa, yakni Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapetarum PNS) yang eksis sejak 1994. Melalui Kepres No.14/1993 tentang Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah resmi dibubarkan.
Adi Setiono, Komisioner Tapera menyebutkan program ini ditujukan bagi penyediaan rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Kategori ini adalah orang dengan penghasilan Rp4 juta sampai Rp8 juta per bulan. Tapera sendiri menyasar Aparatur Sipil Negara (ASN). Seperti Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI, Polri dll dengan cara pemotongan gaji sebesar 2,5% sementara 0,5% iuran dibebankan kepada pemberi kerja.
BP-Tapera sudah menunjuk Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai bank kustodian. Karena, peserta program diperkirakan akan terus tumbuh dari 4,2 juta menjadi 13 juta pada 2024. Di mana dapat terus naik hingga tujuh belas juta setelah masuknya pekerja swasta. BP-Tapera juga akan bergerak menyediakan pembiayaan pembangunan rumah sewa pada tanah wakaf. Hal ini, akan membuat MBR dapat memiliki tempat tinggal yang layak karena harga sewa terjangkau.
Tapera mempunyai beberapa syarat, yaitu :
1. Mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan
2. Termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan belum memiliki rumah, dan/atau
3. Menggunakannya untuk pembiayaan kepemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama atau perbaikan rumah pertama
Adapun peserta Tapera dinyatakan berakhir apabila:
1. Peserta telah pensiun sebagai pekerja
2. Peserta meninggal dunia
3. Peserta mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri
4. Peserta tidak lagi memenuhi kriteria
5. Peserta selama 5 tahun berturut-turut
Adanya Tapera sendiri menimbulkan pro dan kontra, setelah pengesahan UU mengenai program tersebut. Menurut pengamat kebijakan publik UGM Yogyakarta Gabriel Lele, kebijakan Tapera sendiri memiliki konsep yang bagus. Akan tetapi, cara pelaksanaannya sendiri akan sulit diterapkan. “Gagasan agar pekerja punya rumah layak itu bagus namun, caranya yang sulit. Dengan iuran tiga persen itu uang yang banyak. Bunganya bagaimana? Sampai kapan mereka harus tabung sebelum bisa beli rumah? Rumahnya nanti tipe dan harganya berapa?” kata Gabriel, Rabu (3/6) yang dikutip dari laman Kompas.com. Menurut dia, banyak pertanyaan teknis tetapi justru di situlah ujian yang sesungguhnya. Apabila tidak disiapkan, ini bisa jadi mega skandal berikutnya terkait pengumpulan dana masyarakat.
Penetapan Tapera ini menuai banyak tanggapan dari warganet di media sosial Twitter. Beberapa pihak mengeluhkan potongan tambahan yang akan dibebankan pada penghasilan mereka. Terlebih lagi, sebelumnya para pekerja juga diwajibkan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja. Bahkan, pemerintah hanya memikirkan untuk menaikan harga ekonomi negara yang sedang turun akibat adanya Covid-19.
Beberapa ahli ekonom meyebutkan bahwa, pemerintah hanya terburu-buru mengesahkan dan menerapkan program ini. Sebabnya, tidak memilah dan memikirkan dampak yang terjadi akibat program itu. Memang Tapera sangat bagus untuk rakyat yang membutuhkan rumah, tetapi tidak di keadaan saat ini. Seharusnya hak atas perumahan merupakan kewajiban pemerintah, bukan dibebankan kepada kalangan buruh sebagai peserta wajib Tapera. Ketua Umum Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah menilai program Tapera tidak tepat bagi buruh. Sebab, pemenuhan kebutuhan dasar adalah kewajiban negara, salah satunya perumahan.
Tapera dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Dalam hal itu, Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi, menolak adanya program Tapera. Jika menggunakan skema Tapera, beban yang ditanggung pengusaha dan pekerja semakin berat. Pasalnya, iuran yang harus dibayar untuk program BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek lebih dari 11 persen. Sekiranya ditambah Tapera, maka beban iuran yang harus ditanggung mendekati 15 persen. “Ini di luar beban lainnya yang ditanggung pengusaha, seperti kenaikan upah minimum setiap tahun yang besarannya sekitar delapan persen dan cadangan pesangon pekerja,” ujar Agung yang dikutip dari laman hukumonline.com.
Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa banyak sekali yang menentang adanya program Tapera. Oleh karenanya, pemerintah harus bijak dalam memikirkan nasib buruh yang ada di indonesia. Serta, pemerintah dapat menjalankan peran penting, yakni memenuhi kebutuhan dasar rakyat ketimbang memungut uang dari Tapera. Kemudian, pemerintah juga harus memikirkan nasib rakyat selain ASN, agar adil dan bijak dalam menjalankannya.
Reporter : Indah Syatriani
Editor : Jioti Nurhaliza