Jakarta – Suara Ekonomi

Berdasarkan UU No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah mengusulkan penerapan skema pajak multi tarif. Akan terdapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang semula 10% akan naik sampai 12%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa hal tersebut bertujuan untuk mencapai keadilan bagi wajib pajak. Maka taraf umum akan dinaikan dari 10% menuju 11% di tahun 2022 dan secara bertahap meningkat menjadi 12% di tahun 2025. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), Pasal 7 Bab IV menjelaskan secara rinci tarif PPN saat ini.

“Rencana kenaikan itu sejalan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, reformasi UU SRC sebelumnya. Menurut undang-undang, seharusnya kenaikan itu sampai 12 persen. Namun, kenaikan PPN ini akan dimasukkan. Ini adalah Sesuai dengan tatanan undang-undang yang kita bahas bersama antara DPR dan pemerintah,” kata Wihadi Wiyanto anggota komisi XI DPR RI, Rabu (3/9/2022). 

Menteri Keuangan Sri Muluyani menegaskan, kenaikan tarif PPN. ( Sumber : katadata.co.id )

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alasan utama kenaikan tarif PPN sebesar 11 persen adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah guna memperbaiki posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sepanjang tahun defisit akibat pandemi. Agar anggaran pemerintah pulih dan kembali surplus, diperlukan terobosan baru untuk memulihkan. Pemerintah memilih PPN sebagai tempat pengembalian APBN yang tepat karena tarif PPN Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain. Jika melihat tarif PPN negara-negara G20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), rata-rata tarif PPN negara-negara tersebut adalah 15-15,5 persen. Jadi ini peluang yang tepat agar tarif PPN Indonesia bisa setingkat dengan negara lain dan sekaligus memperbaiki keadaan APBN. 

Dampak dari kenaikan bisa bersifat positif dan negatif. Dampak positif dengan kenaikan PPN akan diharapkan perekonomian pulih dari pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian Indonesia. Sebaliknya dampak negatif berupa kenaikan PPN tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan inflasi yang tentu membuat barang dan jasa menjadi lebih mahal. Tidak dapat dipungkiri  bahwa barang dan jasa yang semakin mahal dapat menyebabkan turunnya daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa tersebut.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan kenaikan tarif PPN sangat berisiko karena pemerintah sedang berupaya menghidupkan perekonomian akibat pandemi COVID-19. Kenaikan tarif PPN juga menaikkan harga barang dan mempengaruhi daya beli masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, setiap orang wajib membayar tarif PPN pada saat memproduksi barang atau jasa kena pajak. Karena itu, menurut Bhima, jika tarif PPN dinaikkan, masyarakat memiliki dua pilihan: mengurangi konsumsi dan berhemat atau mencari opsi lain yang lebih murah.

Kenaikan tarif PPN tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga para pengusaha. Pengusaha melakukan pemulihan keuangan karena pandemi COVID-19, tetapi kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan. Selain itu, kenaikan tarif PPN juga menyebabkan kenaikan biaya operasional perseroan melalui perolehan bahan baku kena pajak. Tentu saja, jika biaya operasi perusahaan meningkat, harga produk juga meningkat dan ini mempengaruhi pengguna akhir yang harus membayar barang lebih dari biasanya

Jakarta – Suara Ekonomi

Berdasarkan UU No.7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah mengusulkan penerapan skema pajak multi tarif. Akan terdapat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang semula 10% akan naik sampai 12%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa hal tersebut bertujuan untuk mencapai keadilan bagi wajib pajak. Maka taraf umum akan dinaikan dari 10% menuju 11% di tahun 2022 dan secara bertahap meningkat menjadi 12% di tahun 2025. Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), Pasal 7 Bab IV menjelaskan secara rinci tarif PPN saat ini.

“Rencana kenaikan itu sejalan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, reformasi UU SRC sebelumnya. Menurut undang-undang, seharusnya kenaikan itu sampai 12 persen. Namun, kenaikan PPN ini akan dimasukkan. Ini adalah Sesuai dengan tatanan undang-undang yang kita bahas bersama antara DPR dan pemerintah,” kata Wihadi Wiyanto anggota komisi XI DPR RI, Rabu (3/9/2022). 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan alasan utama kenaikan tarif PPN sebesar 11 persen adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah guna memperbaiki posisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sepanjang tahun defisit akibat pandemi. Agar anggaran pemerintah pulih dan kembali surplus, diperlukan terobosan baru untuk memulihkan. Pemerintah memilih PPN sebagai tempat pengembalian APBN yang tepat karena tarif PPN Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain. Jika melihat tarif PPN negara-negara G20 dan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), rata-rata tarif PPN negara-negara tersebut adalah 15-15,5 persen. Jadi ini peluang yang tepat agar tarif PPN Indonesia bisa setingkat dengan negara lain dan sekaligus memperbaiki keadaan APBN. 

Dampak dari kenaikan bisa bersifat positif dan negatif. Dampak positif dengan kenaikan PPN akan diharapkan perekonomian pulih dari pandemi Covid-19 yang mengguncang perekonomian Indonesia. Sebaliknya dampak negatif berupa kenaikan PPN tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan inflasi yang tentu membuat barang dan jasa menjadi lebih mahal. Tidak dapat dipungkiri  bahwa barang dan jasa yang semakin mahal dapat menyebabkan turunnya daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa tersebut.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), mengatakan kenaikan tarif PPN sangat berisiko karena pemerintah sedang berupaya menghidupkan perekonomian akibat pandemi COVID-19. Kenaikan tarif PPN juga menaikkan harga barang dan mempengaruhi daya beli masyarakat menengah ke bawah. Oleh karena itu, setiap orang wajib membayar tarif PPN pada saat memproduksi barang atau jasa kena pajak. Karena itu, menurut Bhima, jika tarif PPN dinaikkan, masyarakat memiliki dua pilihan: mengurangi konsumsi dan berhemat atau mencari opsi lain yang lebih murah.

Kenaikan tarif PPN tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga para pengusaha. Pengusaha melakukan pemulihan keuangan karena pandemi COVID-19, tetapi kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan. Selain itu, kenaikan tarif PPN juga menyebabkan kenaikan biaya operasional perseroan melalui perolehan bahan baku kena pajak. Tentu saja, jika biaya operasi perusahaan meningkat, harga produk juga meningkat dan ini mempengaruhi pengguna akhir yang harus membayar barang lebih dari biasanya

Reporter : Veliya Adinda Mulyawati

Editor : Arum Amalia Sari

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini