Jakarta – Suara Ekonomi

Rencana pengampunan pajak atau sering disebut tax amnesty kembali hangat diperbincangkan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto akan membahas rencana tax amnesty jilid II dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, persiapan mengenai rencana pengampunan pajak atau tax amnesty semakin matang dalam pengimplementasiannya.

Wacana Tax Amnesty di Tengah Lesunya Kinerja Penerimaan Pajak. ( Sumber : Lokadata.ID )

Airlangga Hartarto menyebutkan pengampunan pajak atau tax amnesty sudah masuk dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ia juga menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo sudah mengirim surat kepada DPR untuk membahas RUU tersebut. Serta tax amnesty jilid II ini akan dibahas bersamaan dengan RUU KUP. Di mana RUU juga masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan di dalam draf RUU KUP, pengampunan pajak akan dikenakan pada dua golongan. Pertama, pengungkapan aset per 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan saat tax amnesty. Hal ini dikenai PPh final sebesar 15% atau 12,5% nilai aset jika diinvestasikan dalam SBN yang ditentukan pemerintah. Bila itu terpenuhi maka Wajib Pajak (WP) dibebaskan dari berbagai macam sanksi.

Pemanfaatan Insentif Pajak Terkait Covid-19 Masih Minim. ( Sumber : Kontan.com )

Namun, apabila tidak terpenuhi seperti gagal investasi dalam SBN. Maka harus membayar tambahan 3,5% dari nilai asset atau jika melaporkan sendiri dan 5% kalau ketahuan oleh DJP. Lalu kedua, penghapusan sanksi dengan pengungkapan aset WP OP pada 2016-2019, tetapi belum dilaporkan dalam SPT 2019. Hal tersebut dikenakan PPh final 30% dan 20% bagi aset yang diinvestasikan di pasar obligasi negara. Apabila tidak investasi di SBN maka harus membayar 12,5% jika melaporkan sendiri dan 15% ketika ketahuan oleh DJP.

Sebelumnya, Indonesia sudah pernah melaksanakan tax amnesty jilid I pada tahun 2016-2017. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak. Bambang Brodjonegoro Menteri Keuangan saat itu mengatakan tujuan tax amnesty, yaitu untuk meningkatkan penerimaan pajak. Karena masih banyak masyarakat yang enggan melaporkan dan membayar pajak kepada negara.

Bambang Brodjonegoro juga menyebutkan dengan adanya tax amnesty, maka terdapat potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN. Pada saat itu, tax amnesty berlangsung selama 9 bulan yang terbagi atas tiga tahap. Selanjutnya hasil dari tax amnesty tersebut diketahui pemerintah telah mengantongi deklarasi harta. Hasil tersebut senilai Rp488,2 triliun yang mana Rp1036,7 triliun berasal dari luar negeri.

Selain itu, terdapat juga uang tebusan senilai Rp114,5 triliun dari wajib pajak dan repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun. Dari tax amnesty jilid I, partisipasi wajib pajak yang mengikuti pengampunan pajak sebanyak 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017.

Tetapi, dari sisi realisasi repatriasi, ternyata sangat berbanding jauh dengan target yang ditentukan pemerintah. Pemerintah sebelumnya menjanjikan Rp1.000 Triliun, ternyata hanya Rp146,7 Triliun repratriasi yang dicatat otoritas pajak. Kemudian, dari segi uang tebusan juga sangat jauh dari ekpetasi pemerintah. Pada awalnya Rp165 triliun, alih-alih hanya terealisasi Rp114,5 triliun.

Rencana tax amnesty jilid II ini banyak mendapat kritikan, salah satunya adalah dari DPR. Anggota Komisi XI DPR, Kamrussamad menyebutkan tax amnesty jilid II hanyalah solusi dan jalan pintas yang belum tentu berhasil seperti tax amnesty jilid I. Ia juga menyebutkan saat kondisi ekonomi berjalan normal, target yang diharapkan pemerintah gagal dicapai.

Oleh sebab itu, Kamrussamad menyarankan pemerintah untuk melakukan reformasi fundamental regulasi perpajakan secara sungguh-sungguh. Serta dapat menyeluruh dibanding dengan mengadakannya tax amnesty. “Bangun kepercayaan wajib pajak dengan memberikan jaminan zero korupsi di perpajakan. Berani mengambil tindakan dengan memberhentikan pejabat korup sampai dua tingkat di atasnya dan dua tingkat ke bawah,” ujar Kamrussamad yang dikutip dari laman Liputan6.com.

Selanjutnya, Kamrussamad menekankan permerintah agar mengoptimalkan penggalian potensi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25, 29, dan 23. Hal ini bertujuan untuk barang impor serta konsultan asing dalam pembagunan infrastruktur. Seperti diketahui, pemerintah sedang merencanakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II. Terkait hal ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan bahwa tax amnesty memang sebaiknya tidak dilakukan terlalu sering.

Tanggapan Sri Mulyani Mengenai Tax Amnesty Jilid II. ( Sumber : Kompas.com )

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, adil dalam perpajakan adalah yang mampu membayar pajak. Serta yang tidak mampu diberikan bantuan sosial dari uang pajak. “Semua policy pajak kita harus ikut perubahan global. Ekonomi kita karena Covid-19 banyak berubah ke segmen digital. Gimana dengan adanya perubahan untuk mencapai rezim pajak yang adil,” ujarnya yang dikutip dari laman cbncindonesia.com. Lanjutnya, perbaikan ini tidak hanya dari sisi pajaknya saja tapi juga lembaganya. Di mana Direktorat Jenderal Pajak juga direformasi dari sisi Sumber Daya Manusia dan IT-nya.

Reporter : Leedia Salmayda

Editor : Arieza Rizki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini