Siang itu, panas gemar menyapa kulit-kulit manusia di negara Negasi. Entah apa yang membuat matahari nyaman bermukim disini, sehingga awan mulai menyingkir dari hadapan. Dalam teriknya suhu gurun perkotaan, terdapat baliho-baliho besar yang beralih fungsi menjadi wadah perlindungan. Itu baliho partai!
Tak banyak ruang yang disia-siakan oleh petugas pemasang baliho partai. Di pertigaan jalan, berdiri tegak foto Cak Wir yang tertempel memohon ijin menjadi Wakil Presiden 2019, di sebelahnya tertempel pernyataan beberapa partai atas dukungan bagi calon Presiden incumbent, Jojo Winarko. Ada juga, spanduk lebar bernada persuasif #2019GantiPresiden banyak terlihat melapisi pagar-pagar sisi trotoar. Pemandangan semrawut memang kerap menghantui masyarakat negara ini, selepas lelah bekerja mereka masih harus disuguhkan dengan senyuman kampanye pemberi janji.
Dalam imajinasiku terlihat samar, nampak baliho-baliho itu makin membesar. Mereka seakan berkompetisi untuk memperebutkan posisi baliho idolaku, yaitu si cantik Celsi Island yang tengah asik selfie di kawasan jalan utama ibu kota. Tiap sepulang kerja, aku awasi petugas pemasang baliho yang selalu sigap memasang baliho partai. Awas saja jika mereka sampai merusak baliho idolaku. Ahhh semoga Celsi Islandku tetap bertahan.
Persetan, aku ini memang tidak peduli demokrasi. Usiaku 22 tahun. Sudah 2 kali kucoba celupkan jariku dalam pekatnya kubangan tinta simbol demokrasi. Tapi yang terjadi? calon yang kupilih menang, lalu hilang. Hilang seperti bekas tinta yang sudah tidak berbekas di kelingking jariku. Lantas untuk apa aku mengotori jari kelingkingku lagi? Dia sudah banyak berkorban untuk pemilihan aparat pengobral janji.
Menutup mata dan telinga. Itu yang kulakukan saat menjelang pesta demokrasi. Seluruh panca indera yang kumiliki seakan muak atas semua rasa berwujud politik. Apalagi jika harus mendengar atau melihat pemberitaan media nasional, semua informasi seakan terbungkus rapi dengan politik konglomerasi para pemiliknya.
Semua terasa nampak fana dan palsu di dunia nyata. Aku mengerti sekarang, mengapa kebanyakan pemuda saat ini lebih nyaman hidup dalam dunia game virtual. Jelas, dunia game virtual nampak lebih nyata, dibanding harus hidup di negeri kaya sandiwara.
Migrasi ke dunia game. Kutetapkan menjadi rencana besar untuk pergi dari kebohongan besar yang melanda negeri ini. Sudah kucuba unduh beberapa jenis game, dan siap bermukim bergantian disana. Namun aku tidak tega. Tidak tega untuk meninggalkan negeri yang dulunya direbut dengan darah perjuangan leluhur, sekarang dititipkan kepadaku untuk dilanjutkan.
Kucoba tatap kembali baliho si cantik Celsi Island yang kini sudah terlipat rapi ditangan petugas pemasang baliho partai. Kuucapkan janji, dan kuteguhkan hati “Aku harus berjuang untuk Chelsi, juga untuk leluhur dan keturunanku selanjutnya.”
Tak salah apabila ada seseorang yang memperjuangkan harapan kepada kekasihnya. Aku setuju, sangat setuju. Secercah harapan ini coba kupersiapkan untuk orang-orang yang mencintaiku, terutama Kakek. Kakek selalu menceritakan bagaimana bahagianya langit kemerdekaan masa itu, menjanjikan keindahan harapan masa depan. Mungkin lebih baiknya segera kupersiapkan, sebentar lagi 2019.
Riuhnya kedai kopi Ko Dullah, diwarnai perdebatan agama manusia dan pengangguran yang kian menyiksa. Keren juga mereka, pengangguran, dan sekarang beralih profesi menjadi seorang ahli filsafat ketuhanan. Oh, andai angan-angan mereka tentang negeri impian menjadi nyata. Ya, sumpah mati aku akan berselancar diatas indahnya kemudahan birokrasi dan kedaulatan demokrasi. Ssstt menghayal saja.
Entah mengapa, langkah kaki ini mengarah ke sebuah bedeng tua yang dikerumuni pemuda-pemuda seusiaku.
“Woy van! cobalah duduk disini. Kita mabar, jarang-jarang kau kesini kan,” ajak Idham, teman sekolahku dulu.
Kucoba perhatikan mereka dengan perasaan sumringah. Mereka sangat tenang, tidak ada lontaran kalimat kesedihan hidup mengganggur, ataupun membahas rumitnya dialektika ketuhanan. Rasanya begitu sempurna, seperti rencanaku dulu migrasi ke dunia game. Tapi tidaklah, tekadku sudah bulat. Kupersiapkan untuk 2019.
Esoknya kucoba kembali. Berbekal lipatan bekas baliho si cantik Celsi, sebuah proyektor dan laptop, kubuka sebuah teater mini di bedeng perkumpulan kami, sekumpulan pemuda yang coba kembali bermigrasi. Tidak menyangka aku awalnya, mereka nyatanya juga tidak tega untuk meninggalkan negeri.
Baliho si cantik Celsi jadi korbannya, dipakailah bagian belakang baliho bagian putih sebagai layar. Proyektor sudah terhubung ke laptop, cahaya lensanya sudah sampai ke layar. “Siapa Di balik Presiden” menjadi film pertama di teater kami ini. Sebelum film dimulai, kami coba sebar undangan via sosial media. Hasilnya diluar dugaan, ramai, hingga udara bedeng menjadi panas namun nikmat.
Kau tau betapa bahagianya perasaaan kami saat itu? Rasanya seperti kembali, lalu berjalan bersama-sama. Begitulah kebahagiaan yang kurasa saat kami menonton film bersama, lalu mendiskusikanya. Kami coba kaitkan nilai-nilai film dengan problematika bangsa dan pemuda. Diskusi berjalan indah. Teori-teori baru tersaji, dari teori bumi trapesium hingga revolusi kera sakti penjaga kitab Perpu. Ahhhh, bahagianya sulit digambarkan.
Sepertinya kami, memang harus peduli dengan kedaulatan demokrasi di negara Negasi. Demi memperjuangkannya, maka akan kulakukan lagi, dan lagi. Tidak peduli berapa wadah tinta pekat simbol demokrasi yang kucelupi, aku dan kawan-kawanku akan terus berdiri, menikmati, dan tetap berdiskusi. Silahkan 2019, datanglah untuk kami, para pemuja demokrasi.
Muhammad Evan Hanif
Kordinator FPMJ
Politeknik STMI Jakarta, Kementerian Perindustrian