Oleh: Armelia Hasan Basri
Pagi itu, aku ingin kembali bermain dengan kakak perempuan asal Lembang yang menyewa kamar di rumah mama. Tyan namanya. Dia adalah orang yang baik hati, berperawakan tinggi, rambut panjang yang selalu diikat ekor kuda, senyum ramahnya yang tak pernah berhenti, serta wajahnya yang manis. Kak Tyan adalah mahasiswi Desain Interior di salah satu universitas negeri di Bandung. Mungkin hal itu yang menjadikan ia rajin menata ruang kamarnya. Selain bersih, ruangan itu juga rapi, membuatku betah berlama-lama di dalamnya.
“Good morning, Divvi,” sapa kak Tyan sembari tersenyum manis.
“Good morning too, my sister,” balasku dengan senyum yang mengembang. Rasanya diperlakukan seperti adik sendiri oleh kak Tyan.
“Kusut sekali mukanyaaa. Pasti belum mandi,” ledek kak Tyan sambil menertawakanku.
“Hehehe…” Aku hanya nyengir, ”Tapi udah cuci muka sama sikat gigi nih.”
Candaan seperti itu selalu membuatku merasa sangat akrab dengan kak Tyan. Aku sering mengajak kak Tyan berlibur bersama mama dan papa. Ah! Kak Tyan seperti kakak kandungku sendiri. Berbeda dengan kakak-kakak lainnya yang menyewa kamar di rumah ini, mereka terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.
“Kak, mama mau pinjam majalah desainnya, boleh?” Aku mengutarakan niatku datang ke kamarnya.
“Tentu saja, Divvi. Mama mau pinjam yang mana? Bawa aja gih, semuanya. Desainnya bagus-bagus, lho,” lagi-lagi kak Tyan tersenyum. Kak Tyan memang memanggil mamaku dengan sebutan “Mama”. Mungkin untuk menghilangkan rasa rindu dengan ibunya di Lembang, atau mungkin juga untuk mengakrabkan diri dengan keluargaku. Tapi kak Tyan memang orangnya ramah, kok. Cepat sekali akrab dengan orang-orang di lingkungannya. Jadi wajar aja jika kak Tyan akrab dengan panggilan itu pada mamaku.
Kak Tyan menyiapkan beberapa katalog dan majalah desain yang dikoleksinya, lalu memberikannya padaku.
“Kata mama, Kamis besok dikembaliin, Kak,” ujarku sambil mengambil semua majalah-majalah itu.
“Ah, bulan depan dikembaliin juga nggak apa-apa, kok,” ujar Kak Tyan, kembali dengan senyum.
“Okay, thank you kakak imuuut,” candaku sambil berlalu keluar kamar, “Divvi bawa dulu ya majalahnya…”
“Kamu nggak mau main disini dulu, dik?” Tanya kak Tyan dengan panggilan kesukaanku, “Dik”.
“Maaaaau kak, tapi Divvi belum mandi. Nanti kamar Kak Tyan bau,” sungutku sambil berjalan menjauh, diiringi tawanya Kak Tyan.
“Hahaha… Ya sudah, hati-hati bawanya, Divvi! Turun tangga nanti jatuh!” Samar-samar terdengar suara kak Tyan dari belakangku.
Aku heran, apakah kak Tyan sama sekali tidak memiliki masalah? Seringkali aku berpikir ingin menanyakan hal itu, tapi kembali ku urungkan niat untuk bertanya. Apa urusanku dengan masalah kak Tyan? Aku bisa apa jika sudah tahu masalah kak Tyan. Cukuplah aku dan semua penghuni rumah ini melihat cerianya setiap hari.
***
Kamis, pukul 15.40, aku sedang membaca novel di halaman belakang rumah. Biasanya aku membaca novel koleksi kak Tyan di kamarnya. Tapi karena takut mengganggu, aku pun nggak berani untuk mengetuk pintu kamar kak Tyan yang memang sejak tadi siang tertutup rapat. Tiba-tiba mama memanggilku.
“Divvi, tolong kembalikan majalah-majalah kak Tyan ya,” mama bagaikan membaca pikiranku untuk kembali ke ruangan dengan suasana yang nyaman itu, milik kak Tyan.
“Iya, Ma!” sahutku bersemangat. Bagaimana tidak? Kenyamanan bersama kak Tyan di dalam kamarnya adalah hal kedua yang aku sukai selain keberadaan bersama mama dan papaku. Aku segera beranjak dari ayunan di taman dan bergegas mengambil majalah-majalah di tangan mama.
“Buru-buru sekali kamu. Ada apa? Hm?” goda mama padaku.
“Divvi senang main sama kak Tyan, Ma. Kalau kak Tyan mau pindah, jangan dikasih izin ya,” aku merayu mama agar kak Tyan tetap tinggal di rumah ini.
“Divvi…Kak Tyan kan punya keluarga sendiri, mana mungkin mama cegah kalau kak Tyan ingin pulang ke kampung halamannya. Ada-ada saja kamu,” ujar mama sambil tertawa.
Aku hanya tersenyum dan berlalu menuju kamar kak Tyan membawa setumpuk majalah milik orang yang kusayangi itu.
“Divvi, ini kunci kamar kak Tyan. Dari tadi siang dia belum pulang,” mama menyusulku dan memberikan serenceng kunci kamar kak Tyan.
“Ha? Kak Tyan pergi? Tumben nggak bilang-bilang ke Divvi,” aku terkejut, tidak biasanya kak Tyan pergi tanpa sepengetahuanku.
“Hahaha… Kamu ini,” mama menertawakanku seolah ada yang lucu,”Sekalian saja kamu jadi satpam di depan kamar kak Tyan, gih!” celetuk mama.
“Aiih, mamaaa, masa anak mama disuruh jadi satpam,” aku bersungut, kemudian tertawa setelah memikirkan perkataanku. Benar juga, untuk apa aku ingin tahu ke mana kak Tyan pergi.
“Tahu kaaan, mama bercanda. Ya sudah, jangan lama-lama, jangan mengacak-acak barang kak Tyan ya!” Mama menyuruhku bergegas. Mungkin tak enak jika kak Tyan pulang saat aku sedang berada di dalam kamarnya.
Sesampainya di depan kamar kak Tyan, kuatur posisi kunci untuk membuka pintunya. Perlahan kubuka pintu kamar, seperti biasa, kamar itu bersih dan rapi. Kak Tyan menyulap ruangan sempit itu menjadi terkesan luas. Rak buku dan lemari disusun memanjang sejajar pintu, jendela kamarnya yang menghadap langsung ke halaman belakang rumah, terbuka lebar. Segar sekali. Aku berjalan masuk dan meletakkan tumpukan majalah milik kak Tyan di atas rak bukunya. Di samping rak itu, terdapat meja belajar kak Tyan. Ada beberapa buku catatan kuliah, buku-buku tebal, dan…sebuah note kecil, seperti sebuah diary.
Aku tertarik ingin membaca. Aku belum pernah melihat note itu sebelumnya, dan hal itulah yang mendorongku untuk segera membukanya. Perlahan kuamati sampul depan diary itu, tampak seperti baru. Kubuka halaman berikutnya, sudah ada tulisan kak Tyan ternyata. Beberapa halaman setelahnya berisi catatan-catatan yang menurutku itu adalah catatan pengingat. Setahuku, kak Tyan bukanlah orang yang pelupa. Kemudian aku kembali membuka lembaran catatan itu. Tiba-tiba mataku terhenti pada suatu tulisan yang tampak ditulis dengan terburu-buru. Perlahan aku membacanya :
“Sudah lama aku merahasiakan hal ini. Entah sampai kapan aku harus menyembunyikannya. Kondisiku semakin lemah, dan aku tak ingin orang-orang di sekitarku mengasihaniku. Bagaimana bisa aku terus tersenyum dengan rasa sakit yang terus-menerus aku rasakan. Kanker ini seolah tak mengerti dengan keinginanku untuk mewujudkan semuanya, di saat aku hampir di sana, di gerbang kesuksesan, membanggakan kedua orangtuaku, melihat mereka tersenyum bahagia. Apakah aku harus pergi sebelum aku melihat senyum di wajah mereka…”
Tulisan itu terputus. Jantungku berdegup kencang sekali. Ini tulisan kak Tyan. Kanker? Kak Tyan terserang penyakit kanker? Aku masih tidak percaya. Tak terasa airmataku mengucur begitu deras. Kuperhatikan bingkai foto yang terpajang di atas meja belajar kak Tyan. Dalam foto itu aku dan kak Tyan saat bermain di Ancol. Kembali aku menangis, aku masih tak percaya. kak Tyan yang selalu tampak ceria, ternyata selama ini menyimpan sakit yang membuatnya harus menyembunyikan hal itu demi orang-orang di sekitarnya.
Segera aku merapikan kembali buku-buku di atas meja belajar kak Tyan. Kuletakkan semuanya di tempat semula dan pintu kamar kukunci kembali. Aku berjalan gontai menuruni anak tangga sambil menghapus airmataku. Aku bertekad tidak ingin merepotkan kak Tyan lagi.
Aku mengembalikan kunci kamar itu pada mama. Ternyata mama sedang membaca novel yang tadi kubaca di tempat yang sama. Aku duduk di samping mama dan bertanya, “Ma, penyakit kanker itu parah ya?” langsung saja aku mengutarakan keingin-tahuanku tentang penyakit itu.
“Ya, kanker itu penyakit berbahaya. Bahkan bisa menyebabkan kematian,” jawab mama, “Kok, tiba-tiba nanya tentang kanker?” tanya mama kemudian.
“Tidak apa-apa, Ma. Divvi ingin tahu aja,” jawabku sambil tersenyum, sedikit dipaksakan. “Lalu, bagaimana sikap kita sebaiknya ke orang yang terkena kanker, Ma?”
“Hm…jangan terlalu menampakkan diri bahwa kita mengasihaninya. Bisa-bisa dia tersinggung. Bersikap sewajarnya saja, seringlah membuat dia senang,” ujar mama dengan sabar.
Sejak saat itu, aku tak ingin merepotkan kak Tyan lagi, aku tak ingin bermanja-manja dengannya, ataupun melakukan hal yang membuat kak Tyan kewalahan dengan sikapku.
***
Minggu pagi ini aku sengaja datang ke kamar kak Tyan membawakan bunga-bunga segar yang baru saja kupetik dari kebun di depan rumah. Tampak kak Tyan telah rapi, dengan tas ransel yang siap disandangnya. Aku tersenyum saat melihat wajah kak Tyan menyambutku dengan hangat.
“Divvi…Itu bunganya untuk kakak?” tanyanya dengan semburat senyum yang ceria.
“Iya dong, Kak! Kakaknya Divvi,kan,kak Tyan!” aku berseru tak kalah cerianya.
“Ayo, sini masuk! Divvi mau nonton Doraemon?” kak Tyan selalu tahu kebiasaanku di hari Minggu.
“Nggak, Kak. Divvi mau main sama kak Tyan aja,” jawabku seraya menata bunga di jambangan, tepat di belakang jendela yang menghadap langsung ke taman belakang rumah, “Kak Tyan mau pergi?” tanyaku kemudian.
“Hm? Tumben nggak mau nonton Doraemon,” Kak Tyan tertawa lepas mengejekku. Aku menatapnya, sebuah tawa yang mungkin beberapa waktu kemudian tak dapat kulihat lagi, “Iya, Divvi. Maaf ya, kakak mau pergi. Kalau kamu mau main di kamar kakak, silahkan. Nonton aja sepuasmu. Maaf ya, Dik. Kakak nggak bisa temanin Divvi…” sesal kak Tyan, kemudian mengambil catatan yang beberapa hari lalu aku baca tanpa sepengetahuannya. Kak Tyan membuka catatan itu, isinya sudah bertambah, bahkan mungkin lebih menyedihkan jika suatu hari aku baca lagi.
“Kak Tyan mau pergi selamanya?”
“Hahaha…”Kak Tyan kembali tertawa, aku semakin sedih mendengar tawa yang ceria tanpa beban itu, “Nggak kok, Dik. Satu minggu aja. Kakak ada janji sama salah seorang penulis novel. Sebentar lagi kakak akan bekerjasama dengannya untuk melanjutkan dan menerbitkan novel ini,” tutur kak Tyan sambil mengayunkan catatan yang dipegangnya itu.
Aku menelan ludah.”Jadi, catatan itu novel tulisan kak Tyan?” Aku memberanikan diri untuk memperjelas status catatan itu. Kak Tyan duduk di pinggir tempat tidur, dan mengisyaratkanku duduk di sebelahnya.
“Hm, tadinya ini isi surat yang ditulis almarhumah sahabat kakak di Lembang, namanya Nuri. Dia meninggal karena kanker. Selama dua tahun Nuri tidak pernah menceritakan tentang penyakitnya, bahkan kepada orangtua atau kakak sebagai sahabatnya sekalipun. Sifatnya mirip seperti kamu, Dik. Makanya, kakak senang sama kamu, seolah kamu menghadirkan sosok Nuri di kehidupan kakak,” ujar kak Tyan berlinang airmata dalam senyum, sambil mengacak rambutku.
“Dik, kakak pergi dulu, ya. Jangan bandel selama kakak pergi. Kalau mau main di kamar kakak, silahkan. Jangan sampai ada barang kakak yang hilang, ya,” kata kak Tyan tenang kemudian menyandang ranselnya.
“Siap, Bos!” jawabku mantap.
Kak Tyan melambaikan tangannya padaku, aku melihatnya pamitan pada mama. Aku yang masih di kamar kak Tyan hanya duduk termangu, berusaha menyembunyikan perasaanku saat itu. Betapa malunya jika kak Tyan tahu aku membaca catatannya diam-diam, bahkan telah menyangka yang bukan-bukan. Ah! Tapi, bagaimanapun juga aku tetap ingin menjadi anak yang patuh, tidak merepotkan oranglain, tak ingin menyesali kesalahan sebelum orang-orang terdekatku pergi selamanya.