Jakarta – Suara Ekonomi
APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah suatu perencanaan keuangan tahunan Pemerintah negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN sendiri berisi tentang pengeluran dan pemasukan negara. Serta, memuat rincian rencana pembelanjaan dan penerimaan negara oleh pemerintah yang dilakukan setiap satu tahun periode.
Namun, di tahun 2020 Indonesia bahkan dunia sedang dilanda wabah pandemi Covid-19. Adanya wabah ini, menyebabkan Indonesia mengalami dampak yang kurang bagus diberbagai sektor, terutama perekonomian. Hal ini juga berdampak pada APBN Indonesia. Hingga Juni 2020, APBN Indonesia mengalami defisit yang signifikan, yaitu 6,72% atau setara dengan Rp1.028,5 triliun. Angka tersebut melenceng dari yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Â Yakni, awalnya berjumlah Rp 852,9 triliun atau setara dengan 5,07%.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah mengalokasikan dana untuk menangani dampak dari Covid-19. Dana yang dikeluarkan tersebut berjumlah kurang lebih sebesar Rp695 triliun, sedangkan sebelumnya Rp677,2 triliun. Menteri keuangan mengatakan, Â jika adanya peningkatan defisit, maka akan menjadi beban untuk 10 tahun ke depan. Selain itu, penjelasan lainnya mengenai hal tersebut disebabkan oleh penambahan belanja negara. Meliputi perpanjangan diskon tarif listrik, subsidi bunga untuk pelaku UMKM, hingga bantuan sosial tunai dan sembako. Pemerintah juga memberikan pembiayaan berupa investasi dan Penyertaan Modal Negara (PMN). Peningkatan belanja tersebut diperkirakan kurang lebih mencapai Rp85,9 triliun.

Tak hanya pengeluaran yang terjadi, pendapatan yang diterima oleh negara pun menurun. Baik dari segi pajak maupun non pajak. Pendapatan atau penerimaaan negara sektor pajak berjumlah Rp1.404,5 triliun. Lalu, Pendapatan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)Â berjumlah Rp286,6 triliun (data dikutip berdasarkan artikel dari kompas.com). Pendapatan yang diterima mengalami penurunan dari yang diperkirakan pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020. Pada Peraturan Presiden tersebut disebutkan bahwa perkiraan PNP (Penerimaan Negara Perpajakan) mencapai Rp1.462,6 triliun. Sedangkan PNBP diperkirakan mencapai Rp297,7 triliun.
Selain itu, untuk pembelanjaan negara diperkirakan akan naik dari Rp2.613,8 triliun menjadi Rp2.720,1 triliun. Perincian pembelanjaannya adalah belanja pusat yang semula Rp1.851,1 triliun naik menjadi Rp1.959,4 triliun. Serta transfer ke daerah dana desa yang semula Rp760,7 naik menjadi Rp762,2 triliun (data dikutip berdasarkan artikel dari cnn indonesia).

Menteri Keuangan juga mengatakan bahwa, pemerintah berupaya untuk meminimalisir peningkatan defisit. Salah satunya dengan cara pembagian beban atau burden sharing dengan Bank Indonesia. Dengan adanya pembagian beban tersebut, diharapkan agar pemerintah dapat mengelola dampak dari Covid-19 tanpa menambah beban fiskal. Harapan lain juga, yakni tidak akan membebani pemerintah untuk melakukan kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pemerintah juga menarik pembiayaan atau utang dengan menerbitkan Surat Berharga Negara dan melelang Surat Utang Negara. Mengutip dari artikel kompas.com, pemerintah sudah menarik utang sebesar Rp360,7 triliun terhitung sejak bulan Januari hingga Mei 2020.Â
Walaupun demikian, Menkeu mengatakan bahwa, data-data yang disampaikanya ini masih berupa outlook atau asumsi saja. Data-data tersebut dapat berubah selagi mengalami pekembangan. Pada setiap bulannya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pembaharuan perkembangan mengenai outlook pada APBN. Pemerintah juga mengharapkan pada tahun 2021, perekonomian Indonesia dapat tumbuh kembali pada nominal yang wajar.
Reporter : Farah Meirizka
Editor : Dinda Nadya