Jakarta – Suara Ekonomi
Belakangan ini tren kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) kerap dibicarakan publik. Dengan berkembangnya teknologi, kecerdasan buatan memang telah merambah berbagai bidang kreatif, mulai dari musik, film, hingga sketsa seni rupa di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Keberadaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) seringkali diasosiasikan dengan inovasi dan harapan masa depan manusia.
Secara mudahnya, Artificial Intelligence merupakan sistem komputer yang memiliki kecerdasan sebanding dengan manusia. Terdapat tiga metode yang dikembangkan dalam pembuatan Artificial Intelligence, antara lain adalah Machine Learning (ML), Fuzzy Logic (FK), dan Evolutionary Computing (EC).
Jika dahulu, proses penghasilan karya seni dilakukan dengan penuh tradisi dan teliti, kini dapat dilakukan secara cepat. Persoalan tersebut menjurus kepada tahap penghasilan karya secara tradisional lebih bersifat artistik karena cetusan ide datang dari pemikiran sang seniman. Berbeda dengan penghasilan secara modern, sang seniman justru terlihat terlalu bergantung kepada penggunaan teknologi komputer.
Kehadiran Artificial Intelligence Art berbasis algoritma mesin ini disebut-sebut juga menjadi ancaman untuk menggantikan posisi para seniman. Bahkan belum lama ini sebuah penghargaan seni tahunan, Colorado State Fair, berhasil memenangkan lukisan berjudul “Théâtre D’opéra Spatial” milik pekerja kreatif, Jason Allen, yang sepenuhnya diciptakan dengan bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) bernama Midjourney yang diakses melalui server Discord. Setelah lukisan tersebut dinyatakan menang dalam perlombaan tersebut, lantas akankah Artificial Intelligence dapat menggantikan pekerjaan seniman konvensional?
Ternyata, kemenangan tersebut justru memicu perdebatan besar di dunia seni visual, khususnya di kalangan seniman. Sebagian menanggapinya dengan positif bahwa Artificial Intelligence dapat bermanfaat bagi mereka untuk terus mengaktualisasikan dirinya dalam berekspresi, namun ada juga yang merasa terancam karena dapat mematikan sektor pekerja kreatif. Seorang seniman, pelukis konvensional misalnya, dihadapkan pada pilihan apakah tetap berkarya secara manual ataukah memanfaatkan teknologi canggih yang telah tersedia.
Meskipun demikian, dibalik kemudahan dan peluang yang diberikan oleh teknologi Artificial Intelligence terdapat ancaman yang tanpa disadari dapat membahayakan manusia. Hal tersebut diterangkan oleh Elon Musk selaku CEO Tesla dan SpaceX, mengkhawatirkan masa depan teknologi Artificial Intelligence. Ia mengklaim bahwa teknologi ini akan memicu ancaman yang jauh lebih berbahaya dibandingkan senjata nuklir. Maka perlu adanya peraturan yang memantau perkembangan teknologi tersebut.
Hal serupa muncul dari kalangan seniman di seluruh dunia yang mengungkapkan kekhawatirannya terkait teknologi Artificial Intelligence yang dikembangkan untuk menirukan karya seni tradisional. Banyak seniman menyayangkan kenapa banyak orang lebih mengandalkan Artificial Intelligence untuk menciptakan suatu karya seni, padahal masih banyak seniman berbakat di luar sana yang mampu menciptakan hal serupa.
‘Kerungsingan’ yang tercipta atas kolaborasi manusia dan Artificial Intelligence ini menciptakan ethical labyrinth yang seakan tiada jalan keluar. Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan etika adalah dengan melihat Artificial Intelligence Art dengan sudut pandang yang lebih positif. Cukup jadikan ‘uluran tangan’ Artificial Intelligence sebagai referensi tambahan pada karya yang ingin diciptakan. Untuk itu, masing-masing seniman pun harus mengedepankan empati atas pekerjaan seniman lainnya, serta selalu percaya, bahwa klien potensial akan selalu melihat value dari sebuah karya seni yang diciptakan atas kerja keras senimannya.
Kita memasuki era baru yang berubah serba cepat. Tatanan sosial manusia, pola hidup, dan relasi antar manusia juga bisa berubah. Masihkan adakah lukisan yang tergantung di dinding sebuah ruangan di masa mendatang? Atau hanya tersimpan di dalam hard drive komputer?
Di masa depan peranan Artificial Intelligence dominan dalam kehidupan manusia. Diperlukan adanya konsep, ide, atau pemikiran kreatif yang eksekusinya dapat dikerjakan oleh teknologi. Kedepannya peranan pelukis akan dipertanyakan, masih adakah profesi pelukis yang bekerja secara manual? Bukankah ide atau gagasan bisa divisualisasikan dengan teknologi terkini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik?
Reporter : Deya Syafitri Anggreini
Editor : Kintan Gusti Pratiwi