Jakarta – Suara Ekonomi
Akhir-akhir ini pemindahan ibu kota Indonesia menjadi sorotan dunia. Perpindahan tersebut tentunya akan mempengaruhi sejumlah aspek, salah satunya perekonomian negara. Sejumlah ahli memprediksikan dengan pindahnya ibu kota, tingkat perekonomian bukannya naik tapi justru akan menurun.
Berdasarkan keterangan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro yang dilansir dari Liputan6, beliau mengatakan bahwa sejumlah pilihan ibu kota yang akan menggantikan DKI Jakarta semuanya berada di luar Pulau Jawa. Beberapa indikator yang menjadi bahan pertimbangan diantaranya luas lahan dan infrastruktur yang tersedia, risiko bencana, dan ketersediaan air bersih.
Dengan berpindahnya ibu kota tentunya menimbulkan perubahan dalam segi perekonomian. Hal ini pun berlaku untuk pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Pemindahan ibu kota hanya berdampak pada perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Tengah sebesar 1,77 persen dan PDRB provinsi terdekat yaitu Kalimantan Barat sebesar 0,01 persen. Sisanya, rencana ini memberikan dampak negatif terhadap 32 provinsi lainnya.
Terkait konsumsi rumah tangga, hasil analisa Institut For Development of Economic and Finance (INDEF) memaparkan bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan Tengah justru menyumbang penurunan konsumsi rumah tangga nasional sebesar 0,02 persen. Dan sebesar 0,04 persen jika berpindah ke Kalimantan Timur.
Sejumlah ekonom mulai menyoroti beberapa indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga pertengahan 2019. Hal ini dikarenakan beberapa hal mulai menunjukkan perlambatan. Salah satunya Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct Indonesia) Ronny P Sasmita. Dikutip dari Liputan6, Ronny menuturkan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan pemerintah menjelang pindahnya ibu kota.
Sebagai kontributor terbesar, konsumsi rumah tangga menjadi salah satu acuan untuk mengukur ekonomi secara keseluruhan. Saat ini pertumbuhan tingkat konsumsi rumah tangga dinilai melambat dari tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga kuartal I-2019 hanya tumbuh 5,07 persen dibandingkan tahun lalu. Hal ini menjadi salah satu penyebab perekonomian tumbuh secara tidak maksimal.
“Pada kuartal I-2019, pertumbuhan konsumsi tercatat sebesar 5,01 persen secara tahunan. Meski lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu, angka tersebut sedikit melambat dari kuartal IV-2018 yang mencapai 5,08 persen,” tutur Ronny, dilansir dari Liputan6.
Selain itu melemahnya kapasitas ekspor nasional juga cukup berpengaruh. Berdasarkan data BPS, selama periode Januari-Juni 2019 ekspor Indonesia turun 8,57 persen dibandingkan tahun 2018.
Nilai investasi juga terlihat menurun, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi pada kuartal I-2019 hanya tumbuh 5,3 persen. Padahal sebelumnya pertumbuhan investasi bisa mencapai 11,8 persen per tahun.
Yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah dari sisi penerimaan negara. Di sektor pajak, pada semester I 2019, realisasinya tercatat Rp603,34 triliun atau 38,24 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Jika dibandingkan, realisasi tersebut hanya tumbuh 3,7 persen dibandingkan tahun lalu.
Dari sisi internal yang harus diawasi pemerintah yakni jumlah transaksi berjalan. Belum lama ini, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FE-UI) memperkirakan bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2019 akan memburuk dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Reporter: Risthania A
Editor: Anita Permata S