Jakarta – Suara Ekonomi.

Pada tahun 1980 pemerintah China memulai memodernisasi ekonomi dan banyak merubah kementrian-kementrian negara, mendaur ulang dan kemudian mendirikan perusahaan-perusahaan negara (State Owner Entrprises). Pada awalnya, semua perusahaan negara atau BUMN China didorong untuk menarik investasi ke dalam negeri (inbound). Tetapi, lama kelamaan sampai sekarang ini setelah mampu  baru mereka banyak melakukan investasi keluar negeri (outbound).

Disetiap melakukan investasi keluar, perusahan-perusahaan BUMN ini bekerjasama dengan bank-bank terbesar salah satunya yaitu Bank Export Import China yang juga merupakan perusahaan BUMN China. Pinjaman EximBank ini menjadi faktor kunci sukses bagi BUMN atau perusahaan-perusahaan China termasuk BUMN Minyak China (Sinopec, CNPC & CNOOC). Sebagai contoh investasi di Sinopec di Afrika (Angola) sangat sukses karena didorong atau disupport oleh Investasi Bank EXIM China yang tanpa ikatan (no string) dan tanpa persyaratan yang ketat diawal. Hanya investasi China selalu menyertakan klausal tentang pekerjaan konstruksi sebesar 70% yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan China termasuk didalamnya keleluasaan membawa tenaga kerja dari China.

Kalaupun ada klausal bagi kontraktor lokal untuk mengambil sebagian peran, tetapi persyaratan mengenai detail pekerjaan yang harus diselesaikan termasuk term-condition, pekerjaan mengharuskan perusahaan kontraktor lokal harus bersaing secara langsung dengan perusahaan kontraktor China. Jadi, persis pertandingan antara semut melawan gajah. Tetapi, penjelasan yang paling ilmiah kenapa setiap investasi China selalu membawa prasyarat 70% pekerjaan yang harus dilakukan oleh perusahaan China termasuk didalamnya adalah membawa tenaga kerja China. Dapat dijelaskan  lewat: “Dual Agency Theory Problem” (Agen vs Principal Theory).

Apa itu Agency Theory? Agency Theory berfokus pada pengelolaan hubungan antara dua pihak di mana para manager disebut ‘agen’ ditugaskan oleh para politisi yang disebut ‘prinsipal’ untuk melakukan tindakan atas nama ‘prinsipal’. ‘Prinsipal’ memberikan insentif dan menetapkan mekanisme kontrol kepada agen sehingga agen bekerja sesuai dengan keinginan ‘prinsipal’ dan bukan untuk kepentingan ‘agen’ semata (Holmstrom, 1979; Jensen & Meckling, 1976).

Sementara itu Agency Theory yang menjelaskan perilaku BUMN China, disebut dengan “Dual Agency Theory Problem”, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Perusahaan BUMN China ini dimiliki oleh warga negara China dimana BUMN tersebut berasal (home-country), dan disebut sebagai ‘prinsipal’, sementara para ‘politisi’ dikategorikan sebagai ‘agen’. Para politisi yang membawahi para manajer BUMN ditugasi oleh warga negara, dimana tujuannya memimpin BUMN adalah untuk mencapai keuntungan BUMN yang bersifat sosial dan ekonomi dan dibuat untuk kepentingan warga negara sesuai dengan idea awalnya BUMN yang bersangkutan dibuat. Namun, warga negara sebagai pemilik atau ‘prinsipal’ tidak memiliki mekanisme kontrak seperti sistem insentif atau pembatasan hukum yang memungkinkan mereka untuk menyelaraskan tujuan para politisi ini sesuai dengan tujuan awal dan tidak hanya bagi kepentingan para politisi itu sendiri. Dalam kasus BUMN ini, para politisi ‘agen’ tidak dikendalikan berdasarkan kontrak kerja oleh warga negara ‘prinsipal’. 2) Politisi, sebagai ‘prinsipal’, juga bekerja yang mengawasi para manajer BUMN yang disebut ‘agen’. Para ‘agen’ yang ditunjuk oleh politisi ‘prinsipal’, bekerja untuk menjalankan BUMN untuk mencapai tujuan diatas. Namun, kadang kala para manager BUMN ‘agen’ ini bekerja hanya untuk mencapai tujuan mereka sendiri, melenceng dari tujuan para politisi.

Tujuan politisi ‘agen’ seperti dijelaskan diatas diharapkan bekerja untuk menselaraskan kepentingan warga negara ‘prinsipal’ sebagai pemilik secara tidak langsung BUMN. Dalam kasus BUMN China, konsekwensi yang keras atas para manager BUMN. Penselaraskan tujuan antara para manajer BUMN dengan tujuan politisi begitu juga dengan tujuan warga negara menjadi lebih simetris.

Jadi, untuk kasus Investasi BUMN China dapat disimpulkan bahwa para manager perusahan negara BUMN China tersebut atau ‘agen’ harus memuaskan para politisi atau ‘prinsipal’ yg telah memberikan wewenang bagi para manager ‘agen’ menjalankan atau mengepalai perusahaan BUMN tersebut. Jadi, tujuannya adalah agar para politisi tetap terus duduk dikursinya. Sementara itu para politisi ‘agen’ juga harus memuaskan masyarakat atau penduduk China ‘prinsipal’ yang notabene pemilik secara tidak langsung perusahaan BUMN tersebut yang diwakili SASAC (shareholders direpresetasikan oleh SASAC – State owned Assets Supervision and Administration Commission). Jadi, para politisi suka atau tidak suka harus memuaskan masyarakat atau penduduk China agar mendapatkan keuntungan dari keberadaan BUMN tersebut. Dimana didalamnya adalah ketersediaan pekerjaan bagi masyarakat China. Jadi, kalau tambahan lapangan pekerjaan itu tidak tersedia atau tidak terjadi maka taruhannya adalah kedudukan para politisi tersebut menjadi hilang atau kecil disaat pemilihan berikutnya.

Dari situ terlihat jelas bahwa investasi yang dibawa China berbeda dengan investasi yang dibawa Jepang, Eropa dan USA. Dengan sistem capitalis-comunism, dimana investasi keluar (outbound) banyak digerakkan oleh para BUMN bukan seperti kebanyakan MNC yang dijalankan oleh MNC Jepang, MNC Eropa & MNC USA. Perilaku MNC ini dapat dianalisa secara akademik dengan mengunakan ‘Single Agency Theory’. Dimana hanya para pemegang saham saja yang harus dipuaskan. Tidak termasuk didalamnya adalah masyarakat atau penduduk dimana perusahaan tersebut berasal.

Penulis : Eka Sudarmaji SE, MM, M.Com

Profesi : Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pancasila

Editor : Erika Sukma