Jakarta – Suara Ekonomi
Sektor ekonomi saat adanya pandemi Covid-19 sangatlah jatuh, dikarenakan tidak berjalan secara maksimal. Lalu, faktor lain yang mengakibatkan itu terjadi karena terhalang aturan jaga jarak akibat wabah Covid-19. Sehingga berdampak pada penghasilan masyarakat, entah itu menurun ataupun bangkrut.
Ada beberapa contoh depresi yang diakibatkan ekonomi, salah satunya, yaitu depresi besar di Amerika setelah PDI. Di mana orang-orang kelas bawah tidak mempunyai nilai tukar untuk membeli hasil produksi. Sebabnya konsumen kolaps, kapital juga kolaps, karena barang kapital menjadi sia-sia (tidak ada yang beli). Saat itu muncul Keynes dengan teori konsumsinya yang mengkritik habis ekonomi klasik. Lantaran teori itu hanya berbasis pada produski atau ekonomi pasar, nyatanya ekonomi klasik rawan akan depresi. Keynes berpendapat bahwa sektor konsumsi menjadi sangat penting, karena hal itulah mata air dari proses ekonomi.
Jika ada permintaan, maka akan ada produksi serta distribusi. Sama seperti Marx, hanya saja Keynes ingin membuat ekonomi kapital lebih sehat. Bukan seperti Marx yang ingin menghancurkan keseluruhannya. Basis filosofisnya adalah sama, bahwa manusia itu selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan primernya. Seperti makan dan sejenisnya, maka ekonomi adalah struktur paling penting dalam peradaban manusia saat ini.
Saat masa pandemi ini, ia memiliki kesamaan dengan depresi ekonomi lainnya, di mana orang-orang tidak memiliki nilai tukar. Karena itu, tidak mampu untuk membuat permintaan, dan ketiadaan permintaan akan berpengaruh pada pemegang sektor produksi dan distribusi. Dengan menjelaskan output Keynes sudah sangat baik, bagaimana pemerintah sudah seharusnya memudahkan jalan orang miskin untuk mendapatkan alat tukar. Entah dengan bantuan langsung atau lewat lowongan pekerjaan yang banyak. Sehingga mereka bisa melakukan permintaan, tetapi output ini tidak cukup survive jika masalahnya bukan hanya kesanggupan permintaan.
Hal lainnya karena adanya masalah dalam masa pandemi ini, salah satunya, yaitu mengenai jaga jarak. Tidak boleh ada aktivitas yang membuat kerumunan, karena akan terjadi penularan Covid-19. Maka mindseting masyarakat sampai mempunyai alat tukar, itu bukanlah solusi yang impresif.
Sebenarnya, implementasi teori Keynes sudah dilakukan oleh pemerintah kemarin. Ketika ada bantuan sosial (bansos) berupa uang yang diberikan kepada masyarakat tidak mampu. Masyarakat tersebut memiliki alat tukar, dan dapat melakukan permintaan, dari sini produksi dan distribusi kembali jalan. Saya tidak tahu apakah bansos itu dananya dari anggaran yang sudah ada atau dari yang lainnya (mencetak uang baru).
Tetapi secara esensi pemerintah sudah mempunyai dana, dan uangnya diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Membagikan uang kepada banyak orang dalam kondisi tertentu adalah hal yang sangat bagus. Karena secara imajinasi, orang terdampak Covid-19 ini memiliki nilai 0 rupiah di rekeningnya. Serta bansos adalah pengganti dari uang yang seharusnya mengisi rekening orang-orang tersebut. Maka hal tersebut dapat menghindari adanya inflansi.
Nyatanya sampai sekarang belum ada inflansi, walaupun bansos sudah diberikan kepada masyarakat. Maksudnya adalah bansos menjadi solusi yang masih dibilang masuk akal dalam konteks ekonomi serta tidak dalam perihal kesehatan masyarakat. Sehingga mereka dapat melakukan permintaan, maka ekonomi secara besar akan jalan. Akan tetapi, hal itu akan tetap menghadirkan keramaian. Ditambah juga dengan sistem lockdown yang setengah-setengah, inilah bentuk mis-nya.
Di dalam ekonomi, stabilitas adalah yang paling penting. Dari mana kestabilan itu didapat? Apakah pasar? Apakah konsumen? Bukan, kestabilan berasal dari penguasa (dari mulai pemerintahan feodal “masa lalu”, sampai pemerintahan demokrat “masa kini”). Mereka mengambil peran yang sangat penting. Di zaman kerajaan dahulu, ketika sistem ekonomi belum sekompleks sekarang, kerajaan secara tidak langsung sebagai penyeimbang pasar. Biasanya, raja-raja yang akan menutup kekosongan permintaan, di mana kerajaaan hidup mewah dengan konsumsi yang melimpah. Maka, para pedagang tidak takut barangnya tidak terjual, walaupun rakyat biasa juga tetap membeli.
Kerajaan hanya sebagai penstabil tidak langsung. Sedangkan di masa demokrat, pemerintah berusaha mengatur ekonomi pasar sedemikian rupa. Sehingga produksi jelas, dan konsumsi juga jelas, ada penurunan bahan pokok juga kenaikan. Pemerintah lah yang mengatur bagaimana rakyatnya dapat pekerjaan, dan bisa melakukan kegiatan ekonomi. Inti dari ekonomi demokrat adalah pemerataan kesanggupan permintaan dari banyak orang.
Maka di masa pandemi ini, pemerintah harus melakukan keduanya, seperti feodal dan demokrat. Dalam konteks feodal, kita harus membayangkan pemerintah sebagai pihak yang sangat kaya (membeli semua produk) dermawan dan suka berbagi. Serta dalam konteks demokrat, kita harus membayangkan pemerintah sebagai pihak pengatur pasar/konsumen. Pemegang kendali atas distrbusi ekonomi, dan juga sebagai pengatur legelitas aktivitas manusia di masa modern ini.
Apa nama Programnya?
Program tersebut diberi nama konsumsi semu. Hampir mirip seperti bansos, tetapi ini lebih kontekstual dan akan berfokus pada penekanan jumlah penularan Covid-19. Jika bansos itu memberikan uang kepada masyarakat terdampak Covid-19 sehingga mereka memiliki nilai tukar dan dapat melakukan permintaan. Lain halnya, konsumsi semu adalah ketika pemerintah menjadikan dirinya sebagai orang kaya. Lalu, mereka akan membeli segala produk pada sektor primer, seperti sayur-sayuran, daging, minuman dan kebutuhan lainnya. Selanjutnya barang-barang itu akan diberikan kepada rakyat banyak. Jadi, bukan masyarakat yang melakukan konsumsi, tetapi pemerintah.
Dari sini pemerintah akan mengatur kebijakannya, sehingga produk-produk ini bisa didapatkan cuma-cuma kepada orang yang membutuhkan. Misalnya dalam tahap seminggu sekali, akan ada petugas yang menyerahkan bantuan kebutuhan primer ke setiap rumah. Sehingga masyarakat bisa langsung mengkonsumsinya, disini lah letak kuncinya. Masyarakat tidak lagi harus keluar rumah dan membuat kerumunan dengan alasan mencari uang yang mana ujung-ujungnya akan lari ke argumen masalah konsumsi (kebutuhan perut).
Bagaimana hal itu dapat terjadi?
Seperti yang terjadi pada bansos kemarin, cuma uangnya diganti dengan barang-barang pokok dan langsung diberikan kepada orang banyak. Dananya dari mana? Saya di sini tidak ingin terlalu absolute. Tetapi, saya coba untuk memberikan hipotesis, bahwa pemerintah bisa mencetak uang sebanyak-banyaknya. Ini tidak akan inflansi, sedari awal karena pemerintah kita tempatkan seperti orang kaya yang uangnya sangat banyak dan dia membantu orang-orang.
Jika uangnya hanya berada pada satu pihak, maka tidak akan terjadi inflansi. Inflansi terjadi apabila persebaran uang secara berlebihan dalam skala yang luas. Mungkin dananya juga bisa didapat dari anggaran tersisa dari seluruh instansi. Semuanya akan dikumpulkan menjadi satu dan digunakan untuk kebutuhan konsumsi semu. Atau Indonesia bisa melakukan hutang kepada negara lain untuk memenuhi konsumsi semu ini, dan masih banyak cara yang lainnya.
Bila ditanya kenapa bukan para kapital (pengusaha) yang akan dijadikan solusi utama? Karena bisa saja, pengusaha ini bergotong royong untuk memberikan sebagian hartanya, dan mengalokasikan dana tersebut sebagai bantuan sosial. Maka jawabannya adalah bahwa para kapital mempunyai logikanya sendiri. Yaitu mereka ingin untung sebanyak-banyak atas suatu proses ekonomi dan ini adalah wajar serta natural, memang untuk itu mereka ada.
Sedangkan untuk pemerintah atau penguasa adalah berbeda, pemerintahan dibuat sedari awal, ketika umat manusia sudah lebih beradab. Tujuannya adalah untuk mendistribusikan keadilan, bahkan sampai sekarang masih sama fungsinya dari setiap pemerintahan. Walaupun kita tahu jika pemerintahan saat ini (di kebanyakan dunia), mereka identik dengan perbuatan rakus dan merusak.
Tetapi itu tetap tidak menghalangi saya untuk menyatakan bahwa jalan keluar utamanya adalah dari pemerintah, bukan dari kapital. Karena pemerintah memiliki gen tersebut (perasaan membagi keadilan) sedari awal. Tapi ini tidak menutup kemungkinan untuk sebagian para kapital (pengusaha) yang ingin menyumbang harta kepada pemerintah, bagaimana pun juga, ada kapital yang baik dan peduli.
Apa yang akan terjadi Setelahnya?
Di sini akan menghilangkan kerumunan, karena hanya sektor primer saja yang berjalan. Sektor lainnya bisa berhenti dan tak ada alasan untuk tidak di rumah saja. Karena pemenuhan atas bahan-bahan pokok akan disediakan oleh pemerintah, mereka tidak harus kerja lagi dan juga tidak mendapatkan gaji dahulu. Sedangkan untuk pekerja primer, mereka akan tetap bekerja, mereka tidak digaji oleh uang. Mereka sama seperti rakyat lainnya, yaitu akan mendapatkan kebutuhan primer per tenggang waktu yang ditentukan sebagai ganti gaji.
Sektor tersebut seperti pekerja PLN, Buruh, Petani, dan pekerja energi kebutuhan manusia lainnya yang dapat mendukung kehidupan manusia saat lockdown total, mereka akan tetap bekerja. Jadi manusia disini akan mengalami kehidupan yang benar-benar primer dalam sementara waktu. Tak ada pasar, tidak ada bisnis dan kompetisi ekonomi, yang ada hanyalah usaha untuk tetap hidup dirumah, sampai wabah Covid-19 bisa dikatakan ramah untuk manusia.
Untuk distribusi bahan makanan, semua orang dapat menerimanya (seluruh indonesia), dan satu orang saja (perwakilan) per Rukun Tetangga (RT) yang mendistribusikan bahan-bahan makanan/minuman seminggu sekali ke depan rumah-rumah. Presiden bisa menghubungi setiap kepala daerah untuk menjalankan sistem ekonomi ini, harus mendata dulu berapa banyak keluarga dan yang lain-lain.
Kenapa semua orang dapat? Padahal ada beberapa keluarga yang masih normal dan tidak terdampak saat pandemi ini? Argumennya adalah, bahwa sistem ekonomi yang saya jelaskan di sini bukan hanya dalam konteks memberikan kesanggupan permintaan (konsumsi) pada masyarakat. Tetapi, juga dalam konteks meminimalisir setiap kegiatan yang ada. Orang kaya pun bisa saja tidak mendapati bantuan, yang mana mereka tetap berpenghasilan saat pandemi. Tapi, jika mereka dikecualikan untuk mendapatkan bantuan pemerintah, mereka otomatis harus melakukan proses ekonomi juga seperti biasa, yang nantinya malah membuat kerumunan lagi. Oleh karena itu, sistem ini harus diterapkan secara menyeluruh, orang miskin dan kaya harus kompak berdiam diri dirumah.
Dengan penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan, yaitu Konsumsi Semu adalah suatu sistem ekonomi, di mana menganalogikakan suatu institusi (pemerintah) sebagai pihak yang sangat kaya dan dapat membeli segala produk. Akan tetapi, produk-produk tersebut “diselewengkan” dan diberikan kepada masyarakat secara keseluruhan dengan gratis. Sehingga masyarakat banyak tidak harus kerja lagi untuk mencari uang dan melakukan konsumsi. Mencari uang dan konsumsi di sini telah diwakilkan oleh orang kaya tadi (pemerintah). Dengan itu, masyarakat tidak lagi mempunyai alasan untuk keluar rumah. Karena kebutuhan primernya akan segera terpenuhi tanpa keluar rumah.
Catatan:
Proses ekonomi di atas adalah normal sebagaimana hari-hari sebelum pandemi (secara esensi). Dalam ilmu ekonomi, yang terpenting adalah esensinya (pertukaran). Ekonomi itu jika diibaratkan sebagai seseorang, dia tidak peduli siapa, dari mana, seberapa besar, kapan dan konteks-konteks aneh lainnya dalam melakukan permintaan dan konsumsi. Entah itu secara banyak orang melakukan permintaan dan konsumsi seperti hari hari biasa, atau seperti model konsumsi semu yang sudah saya jelaskan di atas.
Ekonomi adalah buta akan hal tersebut. Ekonomi hanya perlu pertukaran dalam prosesnya. Ekonomi tidak peduli siapa yang melakukan pertukaran. Ekonomi tidak peduli suatu konsumsi dan produksi dibuang secara cuma-cuma. Yang terpenting adalah adanya proses sebelumnya tadi (pertukaran). Pertukaran di sini adalah ketika seseorang menginginkan sesuatu, maka dia harus memberi imbalan untuk mendapatkan keinginannya tersebut. Jadi kita bisa mensetting konsumsi dan produksi sedemikian rupa sehingga manusia survive dalam masa pandemi seperti ini.
Koresponden : Alan Pasaribu
Editor : Arieza Rizki Sapdayarga