Kota Penuh Perempuan Melahirkan

0
1878

Oleh: Aflaha Rizal

Surat-surat itu selalu saja datang padaku, di rumah atau melalui handphone: Tentang bagaimana kalau aku akan menikah. Aku tidak ingin menikah untuk tahun-tahun ini, tentu saja. Mereka bilang bahwa aku adalah perempuan yang bisa menggandeng tangan lelaki bermodel apa saja. Aku nyatakan sesuai surat yang kubuat dalam kepalaku sendiri, TIDAK! Aku sedang tidak ingin memikirkan pernikahan, atau kenangan masa lampau yang selalu menjadi penyakit dan obat bius melupakan jarang sekali ada di dunia. Mereka tidak melihatku, tentang jalan atau perihal paling baik yang kujalani. Selain tidak memikirkan pernikahan itu sendiri.

Akhir-akhir ini, aku selalu melihat orang-orang menikah pada umur yang lebih muda. Lastri, contohnya. Semasa teman SMA ku itu ia menikah muda, dan bahagia yang pernah ia ceritakan padaku pada beberapa bulan berjalan. Tetapi, tahun seterusnya ia bercerita lagi padaku kemudian, bahwa ia muak perihal cekcok rumah tangga yang selalu menjadi biang utama. Disitulah aku tidak ingin memikirkan pernikahan itu. Keluargaku yang lain meminta padaku, tetapi aku tidak menanggapi mereka yang benar-benar butuh cepat mengandung anak dan melahirkan satu bayi dalam rumah dan ramai.

Kota tempat tinggalku, tidak begitu banyak para perempuan menikah terlalu lebih muda. Seperti Lastri yang aku ingat saja. Orang-orang lain kunyatakan tidak pernah kuketahui bagaimana mereka menjalankan pernikahan. Kini, saatnya membersihkan seluruh kotoran dalam kepala yang akhir-akhir ini menjangkitku, perihal pernikahan yang benar-benar maha muak bagiku itu yang mereka pinta padaku.

 

Seseorang asing, atau lelaki memang selalu datang padaku memberikan bunga. Atau kata-kata puisi yang benar-benar bukan puisi, seperti para sastrawan. Aku pernah menilai bahwa itu bukan puisi, itu adalah kata-kata konyol yang dibuat oleh tangan tanpa pernah membaca buku karya sastra itu sendiri sebelum menulis puisi. Aku tidak pernah memikirkan itu. Salahkah jika hidup yang benar-benar kuinginkan, adalah tidak memikirkan perihal pernikahan semacam itu?

Lebih lain dari pandanganku sendiri, kulihat kebakaran dari dalam manusia pada kota lain yang jauh dari jangkauanku. Aku melihat api dalam diri mereka yang bergejolak dan membawa gosong dan abu. Api itu menjalar lebih lebar dan lebih panas. Api yang tidak terlihat. Api dalam jiwa. Berita dalam media serba maju itu menampilkan artikel perihal pernikahan. Aku membaca dan menyebut kota itu terus menerus: Kalimantan Tengah. Konon, Kalimatan Tengah adalah penduduk yang paling tinggi jika membicarakan perihal pernikahan tahun ini. Aku mendengarkan seruan perempuan menanggung nasib lebih panas ketika jiwa lebih merupakan ketidaksiapan dalam mengarungi waktu yang hidup.

Lebih dari Lastri, temanku, yang akhir-akhir ini jarang sekali mengabariku. Aku tidak tahu bagaiamana tentang bayi dan apa mungkin ia mengandung anak dalam rahim lagi? Jelas-jelas seperti hilang kabar. Berita itu mengingatkanku pada seorang Lastri. Dari kota itu, perempuan penuh melahirkan bayi-bayi bukan dari umur biasanya. Lima belas hingga sembilas tahun. Umur seragam yang masih menimba ilmu di gedung sekolah.

Kata-kata itu selalu menyelimutiku dalam kepala dari keluarga besarku yang lain: Pernikahan itu maha asyik, lho. Bahagia dengan pasangan. Omong kosong! Batinku. Kini mereka tidak pernah mengetahui perihal bagaimana nasib yang terbakar dan api yang semakin menyala-nyala sepanjang umur. Mereka membumihanguskan diri, dan kota penuh kelahiran bayi-bayi. Atau dalam imajinasi kepala yang kubuat sendiri selepas membaca artikel itu: kota itu penuh dengan tangisan bayi baru lahir dan orang-orang semakin takut berkunjung kesana.

Kepala BKKBN memahami dan menjalankan perihal itu. Mengurangi angka kelahiran pada umur muda. Semakin membatin dan semakin membuatku takut. Kota masih begitu mengundang api, aku membayangkan kota itu hangus oleh api dari para perempuan yang masih terlalu muda untuk melahirkan bayi dan rentang penyakit. Tidak kuketahui dengan pasti, apakah pernikahan itu cinta murni atau cinta paksaan. Para perempuan selalu menerima kelabuan dari laki-laki yang selalu berhasil menarik diri mereka.

Bandara Soekarno Hatta penuh orang-orang. Sebagian berpisah, sebagian pulang. Pihak kantorku memutuskan ku pergi menuju kota Amsterdam, ke tempat seseorang yang mau bertemu perihal urusan profesionalitas kerja. Di hotel, ketika pulang, artikel itu kubaca berulangkali. Dan lapisan pohon-pohon hijau kulihat kota Kalimantan Tengah itu. Dalam pesawat tidak terdengar suara bayi-bayi, atau api bergejolak itu. Pikiranku melayang dan semakin kupejam lebih cepat.

“Laki-laki Belanda memang begitu tampan, bukan?” saudaraku, perempuan, menjemputku dan langsung membawa pertanyaan itu. “Amsterdam apalagi.”

“Bisakah kau tidak membicarakan itu? Aku akan menceritakan tentang kota yang terbakar dan penuh melahirkan.” Aku langsung masuk dalam mobil. Aku masih melihat orang-orang lain saling berpelukan. Bandara seperti diciptakan dan dibuat konsep begitu puitis. Sebagai penantian panjang dan pulang masih dalam ketidakpastian. “Di tempat sana penuh bayi-bayi saling berbalas tangis.” Lanjutku. Ketika mobil itu membelah pada kota-kota metropolitan dan gedung-gedung selalu bertambah.

“Itukah fantasimu? Kau sedang memberikan bocoran tentang cerita fantasi yang kau buat sendiri?” ia bertanya, tidak bercanda, tidak serius. Raut itu membuatku bertanya-tanya. Serupa ia, yang bertanya-tanya tentang pernyataanku barusan. Aku menggeleng, benar-benar tidak mengerti perihal yang kubicarakan. “Lanjutkan saja perjalanan, dan jangan lupa mampir di toko Pizza. Aku belum makan sama sekali.” Aku mengalih untuk melihat pemandangan. Kota-kota yang lebih ramai tentang para keras kepala dan api dalam haus jabatan. Berbeda dengan kota sana, penuh perempuan melahirkan dan satu kota penuh tangisan bayi-bayi yang kupikirkan.

Satu kotak hidangan Pizza menghancurkan pikiran yang kubuat itu. “Di pesawat, kau tidak makan?” saudaraku bertanya.

“Sudah kubilang, aku ingin menceritakan tentang yang ingin kuceritakan padamu. Kejadiannya di dalam pesawat,” aku menjawab. “Salah satunya kota Kalimantan Tengah, banyak perempuan melahirkan pada umur muda.”

Saudaraku menjawab dengan jawaban lain, “Bukankah perempuan memang melahirkan? Tidak bisa kau hindari bukan?”

Memang. Batinku. Tetapi, kau tidak mengerti bagaimana perihal kota itu dan kau tidak menemukan apa yang kau tangkap sendiri. Batinku menjawab lebih jauh lagi. Aku memakan Pizza dengan potongan beberapa daging itu, selalu membuatku menuntaskan rasa takut pada kota itu. “Kau mau kuberikan artikel-nya?” tanyaku, setelah Pizza yang terkunyah segera kutelan.

“Aku tidak suka membaca,” jawabnya.

“Bagaimana kau akan tahu?” tanyaku.

“Apa yang mau kau katakan padaku?”

“Kalimantan Tengah banyak perempuan muda melahirkan bayi-bayi.” Jawabku, kini lebih kupermudah agar ia menemukan makna-nya sendiri.

Ia tertawa, memandangku seketika. “Kau iri melihat mereka melahirkan bayi-bayi yang lucu? Lalu, kapan kau akan menyusul dan menikah?”

Muak! Aku berpaling ke arah lain, dan lebih tidak kulanjutkan pernyataan itu. Sama sekali tidak ia temukan sendiri apa yang kubicarakan. Malah berbanding balik dan bukan jawaban yang kuinginkan. Berkali-kali ia bertanya apa yang kumaksud, aku menggeleng terus-terusan, lalu memandang jalan-jalan ketika kotak Pizza masih tersisa. Dan masih bisa kunikmati di rumah, dalam kamar yang benar-benar sepi dan sunyi itu.

Pinggir jalan, pada satu tempat dimana seseorang itu berjualan gorengan, ketika macet, aku melihat perempuan dengan tubuhnya yang hamil membeli beberapa gorengan untuk disantap di rumah. Perempuan itu lebih muda dariku, bahkan lebih muda lagi dari perempuan-perempuan yang memasuki area perkuliahan. Aku memandang bahwa wajah milik perempuan itu benar-benar layaknya wajah anak sekolah seragam putih biru. Atau SMP. Kecil tubuhnya dan membawa berat yang besar pada kandungannya.

Kembali, kupikirkan tentang berita itu, tentang kota penuh perempuan melahirkan dan satu kota penuh dengan tangisan bayi-bayi.