Jakarta – Suara Ekonomi

Sesuai dengan cita-cita Bung Karno terhadap Republik Indonesia adalah mewujudkan Pancasila ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, kita harus selalu berpegangan pada Pancasila yang merupakan prinsip dasar negara Indonesia. Kenyataannya hal itu cukup sulit untuk diwujudkan dikarenakan oleh banyak faktor, salah satunya adalah korupsi.

Korupsi sendiri sudah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti stabilitas di berbagai bidang sosial, ekonomi, dan politik. Faktor umum yang menyebabkan korupsi marak terjadi adalah dikarenakan tingginya gaya hidup yang melampaui dari penghasilan. Dengan begitu, kejahatan korupsi di Indonesia selalu bertambah tiap tahunnya. Tidak berfungsinya lembaga perwakilan dan kepolisian dengan baik membuat masyarakat kian skeptis terhadap para elite. Tiga lembaga pilar demokratis hanya menjadi lahan empuk bagi kelompok kepentingan, sehingga tidak berdampak terhadap masyarakat secara langsung.

Demo Anti Korupsi. ( Sumber : sumbar.antaranews.com )

Umumnya, pelaku utama kejahatan korupsi adalah pejabat dalam suatu institusi, maupun seorang pengusaha. Penegakan hukum di Indonesia kian masih dianggap lemah, seperti istilah ‘Runcing ke Bawah, Tumpul ke Atas’. Artinya, mereka yang memiliki jabatan/kekuasaan aman dari gangguan hukum, sedangkan yang lemah dihukum seberat-beratnya. Akhirnya, aparat penegak hukum menerima suap/janji dari para koruptor untuk memenangkan perkaranya sehingga bertentangan atas kewajibannya.

Efek sampingnya banyak yang lolos dari jeratan hukum pidana sesuai dengan Undang-Undang Korupsi di Indonesia. Keringanan kejahatan korupsi ini juga diduga terjadi karena pelakunya berasal dari institusi penegak hukum. Terdapat beberapa pengakuan dari masyarakat Indonesia sendiri bahwa hukum dapat ‘dibeli’. Di mana hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka, tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan. Padahal seharusnya hukum menjadi alat pembaharuan, bukan sejenis mesin pembunuh karena dorongan oleh perangkat yang morat-marit.

Sebagai contoh bahwa hukum dapat dibeli adalah kasus pengurangan hukuman Anas Urbaningrum. Ia di pidana selama 14 tahun atas kasus suap Hambalang, namun dikurangi menjadi 8 tahun pada September 2020. Berikutnya ada Jaksa Pinangki yang terjerat kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Ia divonis hukuman 10 tahun penjara, namun baru-baru ini dikurangi menjadi 4 tahun penjara. Sedangkan hal ini berbalik dengan kasus Nenek Asyani yang terjadi pada 2015 silam. Meskipun telah membantah tuduhan tersebut, tetapi hakim memvonis 1 tahun penjara atas pencurian kayu milik Perhutani.

Terdakwa Kasus Dugaan Suap dan Gratifikasi Pengurusan Fatwa Mahkamah Agung (MA), Jaksa Pinangki. ( Sumber : news.detik.com )

Dengan kondisi yang kian memburuk akan berpengaruh besar terhadap kekuatan dan kesehatan demokrasi Indonesia. Mental rakyat rusak akibat para penegak hukum yang mencederai keadilan. Merusak keadilan atau bertindak secara tidak adil merupakan tindakan gegabah melawan kehendak rakyat. Dilihat dari situasinya, ketidakadilan menimbulkan moral dan mental yang sangat merusak. Lalu, menciptakan sikap mengabaikan terhadap tujuan dan sistem hukum dari bangsanya sendiri. Sebagai gambaran, penegakkan hukum merupakan jati diri bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Tindakan pidana ini telah diatur dalam Pasal 9 dan 10 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Isi pasal 9 ialah apabila seseorang sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. Juga akan didenda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Sedangkan isi pasal 10, yaitu apabila seseorang sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar akan dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun. Lalu, pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

Maka dari itu, diperlukan tindakan secara tegas dan adil oleh aparat penegak hukum serta KPK dalam mengadili para koruptor. Dengan perlahan cita-cita bangsa Indonesia dapat terwujud seperti yang diamanahkan dalam  UUD 1945 dan Pancasila. Pemberian sanksi sosial bagi para koruptor tidak semata mata merugikan kepada beberapa pihak. Tetapi, kita juga harus mempertimbangkan hal yang memberatkan maupun meringankan terhadap kehidupannya ke depan.

Reporter : Audrey Duryhapsa

Editor : Farah Meirizka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini