Pemberitaan dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Prof. Edie Toet Hendratno, S.H., M.Si., FCBArb., eks rektor non-aktif Universitas Pancasila (UP), sempat menuai beragam reaksi publik, khususnya mahasiswa UP yang merasa tidak terima dengan adanya kasus yang mencoreng nama baik instansi.
Kasus tersebut membuat mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan gedung rektorat pada Rabu, (26/02/24) lalu dengan membawa 4 tuntutan utama. Tidak hanya itu, mahasiswa juga mengadakan aksi lanjutan pada (27/02/24), sebagai bentuk menagih janji pemenuhan keempat tuntutan sebelumnya, serta membawa tuntutan baru yang harus dipenuhi oleh pihak Universitas dan Yayasan. Dari adanya pemenuhan tuntutan tersebut, pihak Universitas menyepakati adanya 3 perwakilan mahasiswa yang dipilih sebagai pemantau Seleksi Pemilihan Rektor UP periode 2024-2028 yang disampaikan oleh Plt. Rektor UP, Prof. Dr. Sri Widyastuti, SE., MM., M.Si pada (28/02/2024).
Akan tetapi, sampai dengan hari ini masih terdapat setidaknya dua tuntutan mahasiswa yang belum dipenuhi oleh pihak Universitas dan Yayasan, Kedua tuntutan tersebut yaitu mengenai keterlibatan satgas PPKS UP dalam penanganan kasus kekerasan seksual (KS), yang diduga melibatkan rektor non-aktif UP, serta pengangkatan rektor baru dengan visi misi yang melibatkan Civitas Academica, dalam hal ini berarti perwakilan mahasiswa yang ditunjuk langsung oleh Plt. Rektor.
Lantas, bagaimana tanggapan pihak Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPP-UP) dalam menanggapi kasus KS yang terjadi di kampus?
Tetap Berpegang Pada Asas Praduga Tak Bersalah
Terkait tanggapan pihak Yayasan terhadap kasus KS tersebut, Dr. Yoga Satrio, SH., MH., MM., selaku Sekretaris YPP-UP menyatakan sikap untuk tetap mengikuti proses kepolisian dengan mengedepankan Asas ‘Praduga Tak Bersalah’ dan menyatakan tidak memberikan dukungan dalam bentuk apapun, hanya mendorong agar menyelesaikan permasalahan di kepolisian hingga tuntas dan tidak ada bantuan finansial, maupun bentuk lain.
Dalam hal kedudukan Prof. Edie di lingkungan UP, Yoga mengatakan bahwa sepakat untuk menonaktifkan Prof. Edie sebagai rektor selama kasus berjalan. Hanya saja ketika ditanyakan posisinya sebagai anggota aktif YPP-UP, pihak yayasan belum dapat memberikan keputusan pasti karena masih menunggu hasil dari proses hukum yang berlangsung, guna menjaga nama baik kedua belah pihak, yakni Prof. Edie dan juga nama baik UP.
“Kalau sudah tersangka, baru yayasan ambil keputusan akan diberhentikan sebagai anggota. Kalau tersangka ya, tapi kalau masih dalam penyelidikan, tapi kalau ada surat SP3 pemberhentian penyelidikan, berarti beliau tidak bersalah. Kita pulihkan itu, kita harus hati-hati menjaga nama baik institusi, juga nama baik pak Edie Toet. Jangan sampai tau-tau divonis tidak bersalah, nanti beliau menuntut balik ya repot kan.” Jelas Yoga.
Selain itu, Yoga Satrio juga menjelaskan bahwa Prof. Edie tidak termasuk ke dalam calon Rektor walaupun tidak terlibat dalam masalah hukum.
Apakah YPP-UP Menjamin Hak Korban?
Dalam kasus ini, pihak YPP-UP menjelaskan bahwa akan menjamin kesejahteraan kedua korban, termasuk hak dan kewajiban korban. Pihak YPP-UP tidak berkomentar banyak terkait hak dan kewajiban korban DF, Yoga menjelaskan bahwa DF telah mengajukan pengunduran diri karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sedangkan untuk RZ, Yoga juga menjamin hak dan kewajiban korban terpenuhi, terbukti hingga saat ini korban atas nama RZ masih diberikan hak dan kewajibannya untuk bekerja.
“Untuk RZ itu tidak akan kita apa-apakan selama dia masih mau bekerja. Kalau dia punya masalah diluar ya silahkan diselesaikan, tapi punya tanggung jawab ya harus dijalani. Tidak dikurangkan,” jelas Yoga.
Pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan kuasa hukum korban, RZ mengalami mutasi ke kampus pascasarjana dan demosi jabatan setelah mengalami kasus ini. Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh pihak universitas, Plt. Rektor menyatakan bahwa RZ dimutasi atas kepentingan akreditasi Universitas. Sedangkan, pihak YPP-UP menjelaskan bahwa masa bakti RZ sebagai Kepala Bagian (Kabag) Humas dan Ventura berakhir pada (31/01/2023), hal tersebut tertuang dalam SK Nomor: 088/SKEP.R/UP/I/2022. Sehingga, ketika RZ dimutasi pada tanggal (20/02/23), RZ sudah tidak menjabat sebagai Kabag Humas.
Selain itu, adanya Surat Peninjauan Kembali SK Mutasi Karyawan No. 1286/WR.IV/UP/III/2024 yang diajukan oleh Warek IV kepada Plt. Rektor menyatakan, bahwa landasan pemberian mutasi sebagai Staf pada Sekolah Pascasarjana kepada RZ, tidak sesuai dengan Peraturan YPP-UP Nomor 01 Tahun 2012 tentang Peraturan kepegawaian UP, sebagaimana diubah melalui Peraturan YPP-UP Nomor 32/YPP-UP/I/2018.
Ketidaksesuaian yang dimaksud dalam SK mutasi, merujuk pada aturan kepegawaian dalam Peraturan YPP-UP Nomor 01 Tahun 2012, yang di dalamnya tidak mencakup aturan mutasi. Selain itu, dalam Peraturan Rektor UP Nomor 1609/PER.R/UP/II/2018 juga tidak ditemukan mengenai SOP mutasi karyawan.
Karena tidak adanya SOP dan peraturan yang membahas tentang mutasi, dalam isi surat Peninjauan Kembali SK Mutasi Karyawan tersebut menerangkan bahwa seharusnya UP dapat merujuk pada Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 54 ayat (1) huruf c dan d UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Merujuk pada UU Ketenagakerjaan tersebut. Maka, tidak adanya prosedur mutasi, tidak adanya evaluasi kinerja, dan tidak adanya penjelasan secara lisan kepada RZ terkait mutasi dan demosi yang dilakukan secara sepihak tentunya tidak sesuai dengan UU yang berlaku.
Dengan begitu, isi Surat Peninjauan Kembali SK Mutasi Karyawan dilakukan sebagai langkah untuk mengembalikan hak dan kewajiban Korban, serta menjaga nama baik Universitas Pancasila. Namun, setelah ditelusuri oleh tim Redaksi, nyatanya belum ada tindaklanjut terkait Peninjauan Kembali SK Mutasi RZ.
Pasca Aksi Demonstrasi Mahasiswa, Bagaimana Nasib Tuntutan Mahasiswa?
Terkait dengan perjanjian adanya 3 perwakilan mahasiswa yang dipilih sebagai pemantau Seleksi Pemilihan Rektor UP periode 2024-2028, para perwakilan merasa tidak diikutsertakan keterlibatannya dalam Seleksi Pemilihan Rektor UP sampai saat ini.
Hal ini terbukti dari ketidaktahuan perwakilan mahasiswa selaku pemantau seleksi pada acara Seleksi Pemilihan Rektor Asesmen Senat Universitas Pancasila pekan lalu. Dio Marcellino Hutauruk, selaku perwakilan mahasiswa yang ditunjuk turut mendukung pernyataan tersebut, “belum ada info ke kami untuk ikut serta pada hari itu. Saya sudah berinformasi ke pihak rektorat perihal ini, dan rujuk untuk menanyakan hal tersebut kepada pihak yayasan.” Ungkapnya.
Selain itu, menurut keterangan Dio, ia juga sempat menghubungi pihak Yayasan, yaitu Sekretaris YPP-UP, akan tetapi dalam hal ini ternyata perwakilan ketiga mahasiswa tersebut tidak diketahui oleh pihak Yayasan.
“Nah, Pak Yoga bales, pihak rektorat tidak pernah info bahwa tiga mahasiswa tersebut untuk monitor.” Jelas Dio”
Adanya kasus ini, menjadi poin penting bagi Rektor selanjutnya dalam menjalankan visi misi serta mengambil langkah besar untuk pemulihan nama baik instansi. Selain itu, pemantapan mutu dan efektivitas Satgas PPKS UP perlu ditindaklanjuti seperti dikeluarkannya buku pedoman Pelaksanaan sebagaimana tertuang dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang pada kenyataannya belum adanya buku pedoman sampai saat ini.
Oleh : Tim Redaksi LPM Gema Alpas, LPM Suara Ekonomi, dan LPM Retorika