Jakarta – Suara Ekonomi
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akan berlangsung serentak di seluruh wilayah Indonesia pada 9 Desember mendatang. Namun, suasana pilkada tahun ini pastinya akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya, Indonesia masih berjuang untuk pulih dari masa pandemi Covid-19 dalam beberapa bulan terakhir.
Tetapi, Pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun di masa pandemi ini. Namun, di samping itu, kegiatan praktik politik uang semakin menjadi sorotan. Praktik politik uang yang selalu menjadi perbincangan di setiap pemilihan pemimpin ini, memang selalu terjadi. Apalagi di masa pandemi, tentu akan semakin marak digencarkan untuk meraup suara sang pemilih.
Dikutip dari laman Liputan6.com, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Teguh Prasetyo, mengingatkan kepada seluruh calon petahana agar tidak menghadirkan politik uang di masa pandemi. Ini menjadi rawan lantaran banyak masyarakat yang terkena dampak khususnya dibidang perekonomian. “Kondisi seperti sekarang jangan digunakan untuk menggiring pilihan politik masyarakat. Biarkan mereka bebas memilih,” ucapnya di Jakarta, Jumat (7/8/2020).
Teguh juga menyoroti calon petahana yang maju di Pilkada Serentak 2020. Dia menghimbau bahwasanya penanganan Covid-19 merupakan kewajiban sebagai Kepala Daerah. Namun, jangan sepenuhnya program yang akan dilaksanakan hanya berbentuk pengentasan kemiskinan dan bantuan sosial untuk mengeruk suara. Seperti halnya memasang atribut politik dalam bantuan sosial.
“Jangan sampai anggaran itu diklaim seolah-olah untuk kepentingan pencalonan demi kemenangan incumbent,” tegas Guru Besar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan yang dikutip dari laman papua.antaranews.com.
Dengan harapan, bagi semua yang terlibat langsung, untuk tetap menjunjung sikap demokratis dan terbebas dari politik uang. Karena, pemimpin daerah harus memiliki sifat yang visioner dan bermartabat. Oleh karenanya, Teguh ingin semua pihak termasuk kontestan Pilkada 2020 tetap menjaga demokrasi di Indonesia. Hal tersebut tentunya tetap dilakukan dengan merujuk pada nilai-nilai pancasila.
Kemudian, menurut M. Afifuddin selaku anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, mengatakan bahwa tantangan penanganan praktik politik uang juga banyak dihadapi di lapangan. Seperti belum adanya perlindungan hukum terhadap saksi pelapor.
“Kondisi itu menyebabkan masyarakat enggan untuk melaporkan praktik-praktik politik uang. Atau melapor, tetapi tidak mau mengikuti proses hukum karena kasus-kasus politik uang sering kali kait-mengait dengan isu politik yang kompleks dan melibatkan elite-elite lokal. Hambatan lainnya adalah proses pembuktian dan kendala waktu yang sangat terbatas,” tulisnya dalam laman JawaPos.com
Tentunya, situasi tersebut menjadi tantangan bagi Bawaslu dalam melakukan upaya optimal. Baik dari sisi pencegahan, pengawasan, maupun penindakan. Apalagi, saat pilkada di tengah pandemi, kerja-kerja penyelenggara pemilu berlipat.
Pemetaan politik uang sebagai kerawanan dalam pilkada menjadi pengingat dini kita. Agar kita bisa untuk bersama-sama mencegah terjadinya politik uang. Hal itu harus di barengi dengan kerja sama yang baik dari berbagai pihak mulai dari penyelenggara, peserta, maupun pemilih.
Reporter : Anwar Afudy
Editor : Dinda Nadya