Jakarta – Suara Ekonomi
Penerbitan berita oleh LPM Institut, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertajuk “Dosa Besar Senior Predator Seks” pada Senin (18/4) menarik perhatian banyak pihak. Berita ini memuat sebuah tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu senior UKM kepada juniornya. Alih-alih mendapat dukungan atas upayanya memperjuangkan hak korban, LPM Institut justru mendapatkan tindakan intimidasi.
Tindakan intimidasi bermula sehari setelah berita terbit pada Selasa (19/4). LPM Institut dipaksa untuk segera melakukan takedown atas berita yang sudah terbit dan membuat permintaan maaf. LPM Institut melalui Instagram resminya menyadari bahwa memang terdapat kesalahan yang dibuatnya. Mulai dari kurangnya verifikasi data terhadap isi berita hingga penyebutan pihak terduga tanpa adanya konfirmasi dahulu.
LPM Institut kemudian melakukan penerbitan berita kembali dengan beberapa perubahan. Mulai dari judul hingga pembaruan isi berita dengan wawancara yang lebih mendalam ke berbagai pihak. Berikut ini tautan atas pemberitaannya http://www.lpminstitut.com/2022/04/nestapa-nisa-usai-dilecehkan-kisahnya.html.
Kronologi Awal Perlakuan Intimidasi
Bentuk intimidasi dirasakan secara terus menerus oleh LPM Institut dari UKM X, yang bukan nama sebenarnya. Salah seorang perwakilan LPM Institut menceritakan kronologi tindakan intimidasi kepada Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ). Setelah berita terbit, ia dihubungi oleh berbagai pihak yang mengaku sebagai pengurus, senior, dewan pengawas, hingga perintis UKM. “Kita diminta takedown, terus kita ditanyain juga maksudnya apa publish berita itu,” ujarnya.
Kemudian pihak Institut menjadwalkan pada Selasa (19/4) pukul 14.00 WIB untuk memberikan hak jawab sebagai langkah mediasi. Sebelum bertemu dengan UKM X, pengurus LPM Institut bertemu terlebih dahulu dengan Bagian Kemahasiswaan pukul 13.00 WIB. Namun ternyata, pada pukul 13.10 WIB pengurus UKM X langsung mendatangi Sekretariat LPM Institut. “BPH (Badan Pengurus Harian) nya mana? Ketuanya mana? Dari mana sih anak LPM ini belajar perihal liputan investigasi kaya gitu? Terus siapa yang tanggung jawab sama berita kaya gitu?,” ceritanya dalam konferensi pers.
Mediasi antara LPM Institut dengan UKM X
Mediasi dilakukan di sekretariat LPM Institut. Kedua belah pihak saling merekam hasil diskusi melalui handphone yang ditaruh di tengah forum. Pada saat mediasi, UKM X menyampaikan keberatannya atas penulisan berita yang dinilai tidak berimbang. Hal tersebut dinilai karena tidak adanya konfirmasi. LPM Institut mengakui hal tersebut. Namun mereka juga mengungkapkan bahwa data dan bukti terkait berita yang ditulis itu valid.
Meskipun pihak LPM Institut telah memberikan penjelasan, UKM X tetap meminta agar berita segera dihilangkan. Pihak Institut lalu memberikan hak jawab untuk memaparkan apa saja yang menjadi keberatannya secara tertulis. Lalu, UKM X menggunakan hak tersebut dengan membuat perjanjian yang belum ditandatangani pihak Institut. Selain perjanjian, permohonan maaf LPM Institut juga diminta dengan isi yang dituliskan oleh UKM X.
Ketika forum atau mediasi sedang berlangsung, salah satu senior UKM X memberikan ancaman kepada LPM Institut. “Apa susahnya takedown? Marah loh aku sampe sini apalagi yang menjelekkan organisasi temen sendiri. Jangan mencari popularitas dengan cara seperti ini, Allah nggak akan ridho. Kamu tidak tau apa efek yang ditimbulkan dari tulisan recehan seperti itu. Ini aib saudara kamu sendiri,” ucap senior UKM X tersebut.
Tak hanya itu, senior tersebut juga mengancam akan merusak sekretariat LPM Institut. “Nanti kalau ada anak UKM X yang merusak sekre ini saya tidak bisa tanggung jawab. Ini baru satu badai, masih ada badai-badai yang lain yang lebih besar. Yang dilukai bukan hanya korban atau pelaku, tapi kita keluarga besar,” lanjutnya.
Senior tersebut juga mendesak untuk takedown berita saat itu juga, bahkan menyumpahi semua pengurus LPM Institut tidak akan lulus. Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya LPM Institut melakukan takedown berita tersebut. Jelas sekali bahwa proses mediasi tidak berjalan baik, masih terdapat kecaman di lain sisi.
Bahkan UKM X meminta LPM Institut untuk membuat perjanjian yang mana isi keredaksiannya sebagai berikut :
LPM meminta maaf :
1) Ketidakprofesionalan lembaga karena memberikan informasi yang tidak berimbang (tidak ada verifikasi dalam pemberitaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik)
2) Adanya tindakan yang menyebabkan tercorengnya nama baik lembaga terkait.
Seorang pengurus itu menolak pernyataan tersebut, ia hanya ingin permintaan maaf karena kurangnya verifikasi atau konfirmasi ke UKM X. Namun pihak UKM X tetap bersitegang ingin permintaan maafnya sesuai dengan apa yang mereka mau. Bahkan, ia pun diminta untuk menandatangani perjanjian di atas materai.
Pukul 15.12 WIB, ia mulai menghubungi para kolega LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) untuk pendampingan. Ia disarankan untuk tidak melakukan apapun yang diminta oleh UKM X, salah satunya menandatangani perjanjian. Kemudian ia meminta rekan-rekannya pulang terlebih dahulu, sehingga menyisakan beberapa pengurus LPM Institut.
Tindakan Intimidasi Berlanjut
Pada pukul 17.00 WIB, beberapa senior dari UKM X kembali mendatangi sekretariat LPM Institut. Mereka kembali memaksa untuk menerbitkan permintaan maaf dalam bentuk publikasi video. Namun ia tetap menolak, karena meyakini bahwa LPM memiliki caranya tersendiri.
“Kamu tau nggak dampak dari berita kamu? Ini ada 800 notif chat, semua masih menunggu permintaan maaf. Siapa yang bertanggung jawab menulis pernyataan permintaan maaf? Pimrednya mana? Ketuanya Mana?,” ucap salah satu senior UKM X.
Dalam kondisi tekanan, pihak Institut terpaksa membuat ucapan permintaan maaf dengan dikelilingi para senior UKM X. “Makannya kalau temen-temen lihat postingan permintaan maaf yang pertama kali itu nggak ada logo Institutnya. Memang itu buru-buru dan dipaksa,” jelasnya.
Perlakuan intimidasi juga dirasakan oleh perwakilan pengurus Institut lainnya. Ia tidak kuat harus menyaksikan berita yang sudah dibuatnya harus diturunkan secara paksa. Bahkan, Ia juga diminta untuk unsent saat mengirimkan broadcast share berita ke beberapa grup.
Pada Sabtu (23/4), ada yang menghubunginya dengan pertanyaan yang sedikit aneh dan merujuk privasi. “Tanya aku semester berapa, apakah aku nulis berita ini ditunggangi atau ada tuntutan dari instansi tertentu. Aku jawab tidak ada sama sekali. Aku menulis berita ini memang adanya laporan seperti itu,” ucapnya.
“Aku juga diolok-olok kalau aku ini anak baru kemarin, jangan kayak gitu,” tambah perwakilan pengurus LPM Institut tersebut.
Investigasi Lanjutan
Dalam investigasi lanjutan, LPM Institut melakukan konfirmasi kepada UKM X. Upaya konfirmasi dilakukan sebanyak tiga kali sampai akhirnya diterima. Dalam penerimaannya, UKM X hanya memberikan pernyataan sikap. Hal tersebut tidak menghasilkan konfirmasi yang seharusnya dilakukan. Dalam konfirmasi yang diajukan, LPM menyertakan rangkaian pertanyaan yang tidak dijawab oleh pihak UKM X.
FPMJ juga mencoba menghubungi pihak terkait untuk dimintai keterangan, namun sampai berita ini terbit tidak ada respon sama sekali.
Tanggapan Pihak Kampus
Setelah terjadi permasalahan ini, salah satu senior dari UKM X menghubungi pihak kampus. Pihak yang dihubungi adalah Bagian Kemahasiswaan. Beliau menyampaikan terkait tidak adanya konfirmasi LPM Institut dalam mencantumkan nama UKM X di dalam berita.
Dengan itu, Bagian Kemahasiswaan menyampaikan pesan untuk LPM Institut. Isi pesan tersebut adalah:
– UKM X berhak mengajukan tuntutan ke LPM secara resmi jika dianggap berita ini sepihak dan merugikan UKM X.
– UKM X bisa memberikan klarifikasi sekaligus menuntut LPM melalui press release via medsos dll.
– Kemahasiswaan pada hal ini fokus pada kasus kekerasan seksual yang dilaporkan bukan pada framing pemberitaan.
– Persoalan kedua lembaga diharapkan dapat diselesaikan secara baik dan kekeluargaan.
Pengurus Institut menjelaskan bahwasanya Pihak Kemahasiswaan juga sangat menyayangkan adanya kasus seperti ini. “Pak Kabag juga mendorong mahasiswa jika mengalami pelecehan atau kekerasan jangan sungkan untuk datang ke kemahasiswaan. Kalaupun rasanya kemahasiswaan terlalu besar dan tinggi, bisa ke Kaprodi atau Dosen Pembimbing Akademik,” jelasnya atas pesan Kemahasiswaan.
Setelah Penerbitan Kembali Berita
Setelah melakukan investigasi lanjutan, LPM Institut berhasil melakukan konfirmasi kepada pihak yang bersangkutan. Selain itu, LPM Institut melengkapi segala kekurangan berita dan menyusun ulang berita dengan seksama. Pada akhirnya, LPM Institut yakin untuk melakukan reupload. Tidak hanya berhenti disini, Institut masih melakukan peliputan mengenai kasus kekerasan seksual ini.
Dilakukannya reupload tidak menimbulkan tindak intimidasi lebih lanjut. Akan tetapi, pihak UKM X meminta LPM Institut untuk melakukan podcast bersama. Dalam podcast, UKM X ingin LPM Institut membicarakan terkait ketiadaan konfirmasi dan masalah yang sebenarnya terjadi. Permintaan tersebut dapat diterima oleh LPM Institut sampai peliputan kasus ini selesai.
Tanggapan Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers
Pihak LBH Pers mendapat laporan dari LPM Institut pada Selasa (19/4). Laporan tersebut berkaitan dengan adanya intimidasi yang dilakukan UKM X kepada LPM Institut. Setelah mendalami laporan dan isi berita, LBH Pers menemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam berita tersebut.
Atas kasus ini, Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers mengupayakan beberapa tindakan sebagai upaya advokasi. Tindakan tersebut disampaikan lewat saran yang diberikan untuk pihak LPM Institut. Kemudian, melakukan asesmen terhadap sesuatu yang memiliki potensi konflik tinggi dan memiliki sense soal kerentanan.
Pihak LBH Pers juga menjelaskan tahapan dalam menindaklanjuti kasus intimidasi ini. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
– Membuat kronologi sebagai dasar membuat legal opinion.
– Menilai jenis pelanggaran dan menentukan undang-undang apa yang dapat digunakan.
– Rekomendasi untuk menentukan langkah advokasi dalam mengatasi kasus terkait.
LBH Pers menjelaskan bahwa keberadaan Pers Mahasiswa paling rentan. Hal ini disebabkan oleh konteks regulasi yang levelnya masih jauh dibandingkan Pers Nasional. Pihak LBH Pers lalu menyimpulkan bahwa keberadaan regulasi menjadi hal yang penting dalam kebebasan pers.
Mas Ade juga mengecam tindakan intimidasi yang ada, bahwasanya setiap warga negara tidak boleh diintimidasi. “Jadi kita menggunakan standar hukum yang ada, entah itu pers mahasiswa atau mahasiswa biasa maupun orang biasa, nggak boleh untuk diintimidasi apalagi ancaman kekerasan. Sehingga menggunakan mekanisme standar hak asasi manusia yang paling dasar. Setiap orang bebas melakukan itu sepanjang tidak mengganggu hak orang lain,” ujarnya.
Sebagai upaya pencegahan, Mas Ade mengimbau kepada seluruh LPM dalam pembuatan berita untuk patuh pada kode etik. “Potensi kejadian serupa masih akan ada. Jangankan pers mahasiswa, pers nasional saja, apalagi isunya sensitif akan tetap mendapatkan ancaman. Hal yang paling menolong itu adalah kode etik. Sepanjang teman-teman patuh pada kode etik, serangan apapun yang terjadi kepada reporter ataupun medianya, dukungan publik akan besar. Jika semua sudah dilakukan sesuai kode etik, tidak ada alasan lagi untuk melakukan penyerangan. Kode etik menjadi hal yang penting, apabila ada celah di sana itu akan menjadi salah satu pembenaran mereka untuk melakukan intimidasi,” pungkasnya.
Reporter : Benetta Swasti Aditami
Editor : Kintan Gusti Pratiwi