Jakarta – Suara Ekonomi
Demokrasi tidak lepas dari komunikasi dan informasi. Pers atau media memiliki kedua unsur tersebut. Selain itu, juga sebagai penyangga kekuasaan keempat dalam pemersatu bangsa. Maka sejatinya pers harus tegas, berani, dan tidak mengandung asas kepentingan perihal kekuasaan yang bersifat politis. Pers harus menjaga integritas untuk tidak ikut campur tangan dalam memenangkan kekuasaan. Tetap menjadi penyalur opini rakyat dalam mewujudkan pemerintahan demokratis mewujudkan pemerintahan demokratis
Pasca runtuhnya rezim orde baru, kebebasan berpendapat, kebebasan pers bukan lagi menjadi suatu hal mustahil bagi masyarakat. Setiap elemen masyarakat kini memiliki andil dalam menuangkan idenya mengakses informasi secara luas dan bebas melalui berbagai aktivitas. Namun, disisi lain menjadi sebuah ironi. Sikap masyarakat tidak dibarengi sikap kritis dan analitik terhadap suatu permasalahan. Bahkan, terlihat seperti terkontaminasi sesuatu menyangkut budaya dewasa ini. Baik teknologi, informasi maupun komunikasi yang kian kompleks.
Pasca reformasi, pers menikmati era kebebasannya kembali. Sistem demokrasi terbuka yang diterapkan memungkinkan untuk pers mendapatkan kebebasannya sampai pada taraf yang kadangkala tidak pernah dibayangkan. Terlebih, era kebebasan itu berbarengan dengan kian pesatnya kemajuan teknologi informasi. Kerja-kerja jurnalistik, kini berevolusi sedemikian rupa; lebih cepat, praktis dan tentunya lebih mudah.
Fred S. Siebert dalam bukunya Four Theories of the Press, membagi pers ke dalam empat corak, yakni otoritarian, libertarian, komunis dan pers bercorak liberal-kritis atau liberal dengan kewajiban tanggung jawab sosial. Jika dipahami secara sederhana, keempat corak itu sebenarnya dapat diringkas ke dalam dua corak saja yakni otoritarian dan libertarian. Corak ketiga dan keempat, dalam banyak hal hanyalah modifikasi dari dua corak arus utama tersebut
Pada corak otoritarian, pers tidak memungkinkan untuk menjalankan fungsi kontrol pada negara, alih-alih mendukung setiap kebijakan pemerintah dengan tanpa syarat. Negara memberangus hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat, terlebih kritik. Hal serupa terjadi pada pers bercorak komunis, dimana pers hanya menjadi kepanjangan tangan penguasa tunggal, yakni pemerintah.
Kondisi sebaliknya terjadi pada pers bercorak libertarian. Pada corak ini, pers dimungkinkan atau bahkan diharuskan untuk menjadi semacam kekuatan check and balances bagi pemerintah. Pada corak inilah adagium pers sebagai pilar keempat demokrasi, setelah lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif, dapat termanifestasikan.
Sekilas, pers libertarian tampak seperti penjelmaan nilai dan prinsip kebebasan pers yang sesungguhnya. Pers libertarian dianggap nihil dari potensi dominasi negara dan kekuatan lainnya. Padahal sebenarnya tidak. Jika pada corak otoritarian, musuh kebebasan pers adalah negara dengan jejaring kekuasaannya, pada pers libertarian musuh itu bernama “kuasa modal”.
Terbelenggu Oleh Kepentingan Pemilik
Peradaban manusia hari ini telah sampai pada apa yang diistilahkan Manuel Castels sebagai the age of media society. Era di mana manusia modern nyaris tidak dapat hidup tanpa media. Kondisi yang ideal adalah jika media massa mampu menjadi arena di mana hanya informasi dan gagasan terbaiklah yang pantas ditawarkan. Satu hal yang mengkhawatirkan ketika peran jurnalistik pers bergeser ke arah peran industrialistis semata.
Pertautan modal dengan pers sebenarnya bukan fenomena baru. Hal itu sudah terjadi sejak awal mula pers lahir di daratan Eropa. Pada mulanya, pers memang diinisiasi oleh kelompok borjuis pemegang kapital yang menganut paham liberalisme. Di Indonesia sendiri, konglomerasi media mulai menggejala pasca reformasi 1998 dan terus bertahan hingga saat ini.
Jaringan media massa nasional yang berjumlah tidak sedikit itu pun nyatanya hanya dikuasai oleh segelintir elit. Kondisi kian akut ketika para konglomerat pemilik jaringan media massa itu juga memiliki kepentingan politik praktis. Alhasil, media massa di bawah kepemilikannya pun luruh ke dalam kepentingan ekonomi-politik para pemiliknya.
Harus diakui bahwa, era kebebasan pers yang kita nikmati hari ini nyatanya hanyalah kebebasan yang nyaris semu. Informasi dan berita yang tersaji di hadapan kita hampir pasti sudah terdistorsi oleh ragam kepentingan. Sebuah peristiwa atau fenomena dapat dengan mudah dipelintir, dibingkai dan dimanipulasi demi membentuk persepsi masyarakat.
Harapan terakhir bagi tegaknya pers yang obyektif, bebas dari hegemoni konglomerasi modal dan tarikan kepentingan politik pemiliknya adalah memperkuat jejaring masyarakat sipil. Bagaimana pun juga, hidup-mati pers atau media massa tergantung pada konsumen, yang tiada lain adalah masyarakat luas. Beruntung, pasca reformasi ini Indonesia mengalami ledakan kenaikan jumlah kelas menengah terdidik.
Memberdayakan masyarakat sipil, dengan jalan memantik kritisisme serta kesadaran akan konsep analisis wacana adalah cara paling masuk akal yang dapat dilakukan. Jika masyarakat sipil sebagai konsumen utama media massa memiliki tingkat melek wacana yang memadai, media massa partisan dengan kualitas jurnalistik abal-abal pasti akan ditinggalkan. Pada titik tertentu, agaknya kita harus bersepakat bahwa melawan berita bohong, ujaran kebencian, opini menyesatkan yang diproduksi oleh media-media arus utama berkarakter partisan adalah dengan tidak mengkonsumsinya.
Perlawanan atas hegemoni modal dalam media massa juga dapat dilakukan dengan memaksimalkan kemunculan beragam media baru yang hadir dalam bentuk platform digital daring. Kemudahan membangun sebuah platform media massa daring ini hendaknya dimanfaatkan betul oleh kelas menengah terdidik untuk melahirkan semacam etos jurnalistik tandingan. Tujuannya jelas, yakni menjadi proyek bersama (common project) untuk menciptakanatmosfer pers yang obyektif, demokratis dan berpihak pada kemanusiaan
Apa yang mengemuka saat ini boleh jadi adalah perwujudan dari ungkapan sinis Paul Joseph Goebels yang berbunyi “kebohongan yang diulang-ulang akan membentuk persepsi masyarakat bahwa itu adalah sebuah kebenaran”.
Reporter : Muhammad Irfan Fauzi
Editor : Dinda Nadya