Jakarta – Suara Ekonomi
PT. Freeport Indonesia melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawannya pasca larangan ekspor konsentrat pada pertengahan Februari lalu. Terdapat 840 karyawan PT. Freeport yang telah di PHK dimana mereka ikut dalam aksi mogok kerja di Timika, Papua. Aksi mogok karyawan PT. Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan sub kontraktornya dimulai pada 1 Mei 2017 bertepatan dengan peringatan hari Buruh Internasional. Para karyawan melakukan aksi tersebut karena permintaan mereka terkait kejelasan status pekerjaan belum direspons perusahaan.
Septinus Soumilena selaku Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat Kabupaten Timika telah berupaya mencegah PHK dengan mengirimkan surat kepada manajemen PT. Freeport pada 12 April 2017. Namun, surat yang dikirimkannya terlambat. Dalam mencegah terjadinya PHK besar-besaran tersebut beliau berupaya untuk memfasilitasi kembali pertemuan antara manajemen PT. Freeport dengan Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan.
Terdapat sejumlah tuntutan dibalik aksi mogok karyawan PT. Freeport kemarin, antara lain:
1. Meminta manajemen menghentikan program Furlough
2. Mendesak manajemen untuk mempekerjakan kembali seluruh karyawan yang terkena Furlough
3. Mengembalikan semua pekerja yang mogok di Timika tanpa PHK serta menghentikan tindakan kriminalisasi kepada para pengurus serikat pekerja.
Perusahaan pun memberikan pilihan kepada karyawan untuk berpartisipasi dalam aksi mogok kerja tidak sah tersebut atau kembali bekerja dengan konsekuensi masing-masing. Pengunduran diri secara sukarela merupakan konsekuensi bagi karyawan yang terlibat dalam mogok kerja tidak sah. Sebanyak 840 karyawan telah menghadapi konsekuensi ini, namun sebagian karyawan lain telah meninggalkan tempat kerjanya sejak pertengahan April 2017. PHK bagi 840 karyawan yang memilih mogok kerja bukan tindakan sewenang-wenang namun mengacu pada Pasal 27 Pedoman Hubungan Industrial dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan Indonesia.
“Secara sederhana, karyawan yang mangkir dari tempat kerja selama lima hari berturut-turut tanpa alasan dan menolak kembali bekerja setelah menerima dua surat panggilan akan dianggap mengundurkan diri secara sukarela dari perusahaan. Artinya, mereka tidak lagi menjadi karyawan PT. Freeport Indonesia dan akan menerima pembayaran akhir. Kami ingin karyawan kami kembali. Tetapi, itu akan menjadi keputusan mereka sendiri apakah mereka ingin bergabung kembali dengan karyawan yang saat ini terus bekerja atau meninggalkan perusahaan dan menghadapi masa depan yang tak pasti,” ujar Achmad Didi Ardianto selaku Executive Vice President Human Resources PT. Freeport Indonesia.
Walaupun demikian, Mentri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui saat ini memang ada program pengurangan karyawan di PT Freeport Indonesia. Namun, para pekerja tersebut akan mendapat kompensasi dari perusahaan yang cukup besar hingga Rp 2 miliar.
“Kalau mogok itu sebenarnya sebagian mau dikasih golden shake hand (kompensasi) dalam rangka mengurangi pegawainya. Kalau enggak salah, satu orang itu Rp1 miliar sampai Rp2 miliar, “Ujar Luhut
Sementara itu, pemerintah melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memasuki tahap kedua perundingan dengan PT. Freeport Indonesia. Tahap kedua atau tahap panjang negosiasi ini berlangsung mulai April hingga Oktober 2017 mendatang. Dengan membahas empat poin negosiasi yaitu stabilitas investasi terkait dengan ketentuan fiskal baik pusat maupun daerah, kedua divestasi, ketiga tentang kelangsungan operasi setelah 2021 dan terakhir pembangunan smeller.
Terakhir Luhut menegaskan, saat ini sudah tak ada masalah terkait Freeport. Menurut dia, perundingan antara perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut dengan pemerintah Indonesia berjalan lancar sesuai rencana.
Reporter : Shavira Fitria
Editor : M. Rizal Arbianto