Saat ini jagat maya dihebohkan dengan video asusila yang diduga merupakan Gisella Anastasia atau biasa dikenal dengan Gisel. Dalam tulisan ini, tentunya tidak akan membahas mengenai apakah dalam video tersebut adalah Gisel ataupun bukan, melainkan mengenai revenge porn yang dapat terjadi pada siapa pun.
Singkatnya revenge porn merupakan konten seksual milik pribadi yang disebarkan ke internet tanpa persetujuan. Revenge porn juga termasuk dalam kekerasan seksual siber (cybersexual crime). Dalam praktiknya, korban dipaksa untuk berfoto atau membuat video. Dalam kasus lain, korban tidak mengetahui bahwa mereka direkam menggunakan kamera.
Menurut Cyber Civil Rights Initiative, kebanyakan korban revenge porn adalah perempuan. Berdasarkan data Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018, ada sekitar 65 laporan terkait dengan kekerasan seksual siber (cybersexual crime) yang diterima perempuan.
Menyikapi Revenge Porn dan Dampak Terhadap Korban
Selama ini, perdebatan publik mengenai revenge porn lebih banyak terjadi dalam konteks menyalahkan korban (victim-blaming) dan mempermalukannya (slut-shaming).
Menurut Oxford Dictionary, slut-shaming adalah sebuah kontrol sosial yang menstigma (perempuan) karena berperilaku ‘liar’ dan sensual. Sementara Victim-blaming adalah perilaku menyalahkan korban dengan menganggap bahwa apa yang terjadi padanya diakibatkan oleh tindakannya sendiri.
Dalam titik tertentu, revenge porn dapat merusak reputasi seseorang baik di dunia maya maupun di kehidupan nyata. Konsekuensi dari slut-shaming dan victim-blaming bertambah berat karena keberadaan internet dan media sosial.
Pada masa seperti sekarang, akses internet sudah sangat mudah sekali didapatkan. Namun tidak semua pengakses internet dapat dengan bijak menggunakannya. Dalam kasus revenge porn, internet memudahkan seseorang untuk melecehkan, mempermalukan, dan menghancurkan hidup seseorang dengan menjadikannya bahan tontonan di hadapan ribuan bahkan jutaan orang.
Dapat dikatakan penyebar revenge porn adalah orang yang tidak bermoral. Tak hanya penyebar luas pertama melainkan juga penyebar-penyebar berikutnya.
Dalam kasus revenge porn, perempuan menjadi bahan objektifikasi laki-laki. Menyebarkan, menonton, lalu membicarakan merupakan hal yang dianggap normal. Laki-laki menganggap tindakan mereka hanya sebatas kegiatan ‘seru-seruan’ karena terdapat sesuatu yang heboh mengenai video seksualitas.
Anggapan bodoh pun sering ditujukan pada perempuan dalam kasus revenge porn. Dianggap mau-mau saja diperlakukan seperti itu, diangggap ’murahan’, serta anggapan negatif lainnya.
Tentu efek tersebar luasnya video asusila sangat mempengaruhi kesehatan mental korban. Nama baik yang hancur seketika dan juga keluarga yang ikut mananggung rasa malu. Skenario terburuk menyebutkan bahwa pelecehan di internet mendorong kasus bunuh diri bagi korban.
Jika tindakan asusila dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan, sudah sepatutnya si laki-laki mendapatkan dampak yang sama dengan si perempuan. Namun dalam realitanya, si laki-laki jarang ikut terlibat dalam perbincangan. Semua mata dan mulut tertuju kepada perempuannya.
Kita dibesarkan pada sebuah budaya patriarki yang terkadang mendiskriminasi gender tertentu, tetapi itu bukanlah alasan untuk terus melakukan pelecehan dan kekerasan pada perempuan, termasuk di internet. Jika anda tahu orang lain menjadi target revenge porn, jangan hakimi mereka karena mereka telah dikhianati oleh ruang publik virtual berskala global.