Jakarta – Suara Ekonomi
PUISI PAGI INI
Mulai dari rambut indah yang kau tutup dengan kain bermotif warna
hingga ujung kuku kakimu yang kau rawat
secara rapi dan sempurna
Kelopak matamu, diam tersimpan mimpi
kemudian dikemas sepanjang hari dan
kau curahkan pada lentik jari –jari
Kau sengaja bermain dan menari
ketika awan putih diintip cerahnya matahari
Manis bibirmu yang saat bicara
Kata menjelma doa, kau lantunkan irama aksara romantika
Hingga daun serta krikil di jalan bersuka cita dan berpesta
legit pipi lucumu seolah menghibur
bagi kunang – kunang yang pamit dan kabur
setelah berbaring tidur di lapisan atap bintang bertabur
segenap tentang dia
pada penggalan bait, ku persembahkan huruf lirih yang selalu memberi
secangkir motivasi tersentuh inspirasi yang menghapus hatinya dari sepi
“Selamat Pagi ”, ucapku untukmu seorang diri
PUISI PAGI INI
Aku tahu,
Saat ini kau sedang di depan layar bersegi panjang sembari duduk
merapikan dokumen, menelefon soal tagihan, operasional, hingga keluhan
mungkin kau tersenyum, namun tidak sering juga bersedih saat tugas menumpuk
Tapi, puisi pagi ini akan memeluk jiwamu dari hari hari buruk
Aku tahu,
kau sedang fokus, sibuk, terus ,dan selalu sibuk
terkadang aku cemburu,, bukan padamu melainkan pada rutinitasmu yang selalu kau
prioritaskan dibandingkan sajak – sajak dariku yang tak pernah berkeluh kesah
merebahkan letihmu dan meningkatkan gairahmu setiap lini masa
Aku tahu,
Saat membaca untaian kalimat ini seluruhnya
Kau mulai tersenyum hingga tersipu malu
untuk memunculkan barisan gigi
yang teramat ku kagumi
Aku tahu,
Pada puisi pagi ini juga ku sematkan doa untuk harimu
Tidak hanya detik ini namun juga sampai penghujung waktu
Dalam sunyi ku dengar melalui nada berbisik rindu
“aku akan menemaninya , hingga masehi tak terhitung,” tanggap semesta atas Doa yang
kukirim pagi ini ketika di antara kedua lengan menghadap Sang Pencipta.
PUISI PAGI INI
Aku menuliskan namamu pada puisi pagi ini
Yang damai dari aksi vandalis demonstrasi
Yang sejuk dari udara penuh polusi
Yang hening dari bising kemacetan dan riuhnya transportasi
Yang asri dari perkebunan dan lahan lahan penghijauan yang kini tidak sedikit dieksploitasi
Aku menuliskan namamu pada puisi pagi ini
Tanpa tekanan untuk mengilustrasikan berbagai ekpresi
Tanpa tekanan pula dibandingkan dengan kebebasan dalam demokrasi
Lebih terbuka dan transparan dari pelaksanaanya sebuah konstitusi
Dan lebih romantis dari para penyair klasik yang gemar menulis puisi
Pada puisi pagi ini,
Namamu telah terbentuk menjadi
bait bait megah yang terangkum dari segala aktivitasmu
kemudian aku susun lengkap serupa kalimat indah tanpa sedikit pun hilang darimu
Sejak itu puisi pagi ini tak pernah usang
selalu ada dan tak pernah terkikis hingga zaman telah habis
pada puisi pagi ini,
aku inging menghapus kata “pada”
diantara pagi pagi selanjutnya untuk kau simpan.
Muhammad Irfan Fauzi