Independensi Pers Mahasiswa Terhadap Demokrasi di Era Globalisasi

0
2259

“Pers Mahasiswa merupakan amunisi fundamental dalam mewujudkan demokrasi tanpa basa basi, bukan kata indah layaknya menjual visi misi. Namun,  Esensinya merupakan pilar dalam menuangkan segala aspirasi”. _Muhammad Irfan Fauzi_

Indonesia merupakan negara salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Demokrasi  yang  membawa kebebasan dan keterbukaan dapat dipandang sebagai anugerah luar biasa reformasi (1998). Rakyat berperan sebagai unsur penting jalannya suatu pemerintahan. Demokrasi tidak sekedar sebagai sarana politik atau fenomena politik. Demokrasi merupakan sarana sosial, ekonomi, bahkan sarana budaya. Tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara segala bidang pergaulan hidup.

Dalam beberapa terakhir ini banyak terjadi aksi di seantero negeri. Aksi turun ke jalan yang  dilakukan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Adapun latarbelakang adalah ketidakpuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah. Termasuk diantaranya pejabat negara korupsi, penyalahgunaan kekuasaan oleh para elit politik, hingga berujung pada lemahnya penegakan hukum. Aksi dalam menyampaikan aspirasi tersebut menjadi bukti nyata demokrasi  bukan sekedar bayangan.

Demokrasi tidak lepas dari komunikasi dan informasi. Pers atau media memiliki kedua unsur tersebut. Selain itu, juga sebagai penyangga kekuasaan keempat dalam pemersatu bangsa. Maka sejatinya pers harus tegas, berani, dan tidak mengandung asas kepentingan perihal kekuasaan yang bersifat politis. Pers harus menjaga integritas untuk tidak ikut campur tangan dalam memenangkan kekuasaan. Tetap menjadi penyalur opini rakyat dalam mewujudkan pemerintahan demokratis.

Terkait konteks dinamika demokrasi diatas, pers mahasiswa menjadi suatu langkah substantif sebagai simbol pergerakan mahasiswa. Media dan wahana dalam menanggapi dinamika permasalahan di negeri ini. Disamping itu Mahasiswa adalah suatu kelompok elit marjinal dalam lingkungan suatu dilema. Seperti yang dikatakan oleh Frank. A . Pinner dalam salah satu ungkapannya yaitu “marginal elites, of which students are one species, are cought in a dilemma, between elitist and populist attitude. They are impelled to protect their distinctiveness and privilege while at the sime time documenting their concern for the common man and he community or policy as a whole their own position or the integrity of society appears to be threated”.

Istilah pers kampus lahir ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan No. 028/U/1974 pada tanggal 3 Pebruari 1974, satu point diantaranya berbunyi, “Pers mahasiswa dibina dan dikembangkan sebagai media tukar menukar informasi dan pengalaman antar civitas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan dalam hubungan dengan peningkatan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi”

Pers mahasiswa adalah  aktivitas jurnalistik dilandasi idealisme tinggi dan berani merefleksikan kenyataan hidup baik masyarakat kampus maupun masyarakat di luar kampus. Pencerminan jiwa mahasiswa harus menjadi perintis dan pendorong dalam mewujudkan modernisasi negaranya.

persma.org

Di negara maju pers mahasiswa merupakan “community paper” daripada masyarakat mahasiswa yang kurang ambil bagian akan persoalan-persoalan nasional negaranya. Tetapi di Indonesia, dan juga negara baru, “new-born countries” , dimana jumlah kaum intelektualnya masih terbatas, pers kampus memiliki peran yang strategis. Tidak berlebihan, pers mahasiswa turut andil dalam membangun kepercayaan publik dalam berbagi informasi.

Di dalam proses belajar  dan berjuang inilah, insan pers mahasiswa diajak untuk lebih berpikir panjang dalam mem-blow up berbagai kasus yang terjadi di publik. Tujuannya, apa yang disuguhkan oleh pers mahasiswa yang notabene sebagai media independen tidak ikut pada lingkaran kepentingan dari konflik-konflik tersebut.

Pers Mahasiswa di Era Globalisasi

Globalisasi selamanya tetaplah sebuah realitas empirik. Kenyataan yang terjadi akibat perkembangan ilmu dan teknologi. Khususnya di bidang informasi dan komunikasi. Faktor penyebab tersebut mengindikasikan globalisasi bukanlah sebuah konsep, ide atau paham pemikiran. Suka atau tidak suka, hal ini telah memberi pengaruh cukup kuat lahirnya perubahan di berbagai aspek politik, ekonomi,sosial dan budaya di belahan dunia. Informasi menyebarluas secara cepat ke berbagai negara menjadi sumber inspirasi, referensi, atau implikasi bagi negara tersebut.

Menurut Petras dan Veltmeyer (2002) Globalisasi menempati posisi sentral dalam berbagai agenda intelektual dan politik. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial. Tentang oleh banyak orang dipandang penting dan dinamis pada zaman kita ini. Sebuah epos perubahan menentukan dan secara radikal tengah mentransformasikan hubungan-hubungan dan kelembagaan ekonomi dan sosial pada abad ke-21.

Pasca runtuhnya rezim orde baru, kebebasan berpendapat, kebebasan pers bukan lagi menjadi suatu hal mustahil bagi masyarakat. Setiap elemen masyarakat kini memiliki andil dalam menuangkan idenya mengakses informasi secara luas dan bebas melalui berbagai aktivitas. Namun, disisi lain menjadi sebuah ironi. Sikap masyarakat tidak dibarengi sikap kritis dan analitik terhadap suatu permasalahan. Bahkan, terlihat seperti terkontaminasi sesuatu menyangkut budaya dewasa ini. Baik teknologi, informasi maupun komunikasi yang kian kompleks.

Realitas di atas, telah menciptakan budaya apatis di kalangan masyarakat dan mahasiswa (kaum intelektual bangsa) yang semakin terhanyut dalam arus globalisasi. Kondisi ini sangat berdampak pada munculnya budaya apatis dan feodal yang mewarnai dunia kampus. Di sisi lain, ketika kemampuan mulai terbentuk dengan berbagai simbol dan jargon menggiurkan. Mahasiswa banyak ternina-bobokan oleh tawaran dan aturan yang disodorkan sistem. Persepsi mahasiswa mulai disetir dengan menyibukkan dirinya mempersiapkan berbagai persoalan masa depan. Diantaranya mencari jaringan perihal pekerjaan dan hal lainnya.

Berlomba-lomba, mengejar nilai Indeks Prestasi sebagai lambang akademik melalui berbagai cara dan jalan pintasnya. Belenggu sistem birokrasi formal dan nilai-nilai ketat menempatkan mahasiswa pada posisi dilematis. Di satu sisi mahasiswa dituntut bersikap kritis, analitis dan peka terhadap perkembangan sosial yang melingkupinya sebagai manifestasi predikat yang disandangnya. Di sisi lain, sistem dan kondisi politik yang berlaku tidak memungkinkan untuk melakukan semua itu.

Melihat yang terjadi dengan kondisi memprihatinkan tersebut. Pers Mahasiswa implementasinya tetap pada garis koordinat dan orbit sebagai lembaga kampus. Pers mahasiswa tidak akan terbenam meski sistem maupun regulasi mencoba membungkam. Media suara suara perubahan dari sekelompok orang akan terus berteriak melalui tulisan dan sajak-sajak perlawanan. Pers mahasiswa hadir bukan sebagai boneka dan bukan untuk dipolitisasi. Namun, lahir sebagai pemimpin serta mediator problematika baik di dalam maupun di luar kampus. Kerana “pers mahasiswa adalah tangan kanan demokrasi amanah rakyat

 Dies Natalies Pers Nasional

 Salam dan Hidup Pers Mahasiswa !!!

 

 Muhammad Irfan Fauzi